Makalah Asbab al-Nuzul
Oleh:
Farid Muhlasol
M. Nurul Huda
KATA PENGANTAR
Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang penuh dengan makna. Tidak saja
umat muslim, siapapun yang memahami al-Qur’an, akan mendapatkan pencerahan yang
sangat mencerahkan. Bahkan akan berbeda antar satu orang dengan orang yang
lain.
Tentunya, pemahaman yang dimaksud di atas adalah pem
ahaman yang benar. Dan salah satu cara untuk memahami al-Qur’an secara benar adalah dengan memahami asbab al-nuzulnya. Tanpanya, impian untuk mendapatkan pencerahan dari al-Qur’an hanya akan sia-sia saja. Memang, ini tidak berlaku untuk seluruh ayat. Karena memang ada ayat yang tidak ada asbab al-nuzulnya. Ayat model yang terakhir ini bisa dipahamai, meski tanpa memahami terlebih dalulu asbab al-nuzulnya.
ahaman yang benar. Dan salah satu cara untuk memahami al-Qur’an secara benar adalah dengan memahami asbab al-nuzulnya. Tanpanya, impian untuk mendapatkan pencerahan dari al-Qur’an hanya akan sia-sia saja. Memang, ini tidak berlaku untuk seluruh ayat. Karena memang ada ayat yang tidak ada asbab al-nuzulnya. Ayat model yang terakhir ini bisa dipahamai, meski tanpa memahami terlebih dalulu asbab al-nuzulnya.
Dalam makalah yang singkat ini, pemakalah mencoba membahas tentang
asbab al-nuzul. Baik dari segi definisi, pola, dan beberapa hal yang terkait
dengannya. Sekian. Selamat membaca.
Jakarta
Selatan, 25 September 2017
Pemakalah
PEMBAHASAN
A.
Definisi Asbab al-Nuzul
Kata Asbab al-Nuzul adalah gabungan antara dua kata. Yang pertama asbab
dan yang kedua nuzul. Tidak ada definisi yang bisa menggambarkan
gabungan dua kata ini. Jika pun ada, itu harus dimaknai satu persatu.[1]
Asbab adalah jamak dari sabab. Ada banyak makna dari kata sabab.
Di antaranya:
a.
Tali. Ini berkesuaian dengan firman Allah Swt., surat al-Hajj,
ayat 15.
b.
Jalan/cara.
c.
Pintu. Ini sesuai dengan firman Allah, surat Ghafir,
ayat 36-37.
d.
Sesuatu yang menyambungkan satu hal dengan hal lain (makna majazi).
Misalnya, al-Baqarah ayat 166.
Sedangkan nuzul bermakna menempati.
Ada banyak pendapat tentang definisi asbab al-nuzul
yang diberikan oleh para cendekiawan. Di antaranya:
Pertama, menurut Az-Zarqani adalah peristiwa yang
terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat al-Qur’an, yang mana hal itu
berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.[2]
Kedua, menurut Mana’ al-Qathan. Menurutnya, Asbab al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-Qur’an di saat peristiwa
itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan.[3]
Ketiga, menurut al-Suyuti—sebagaimana dikutip Imaduddin Muhammad Rasyid—mengatakan bahwa Asbab
al-Nuzul adalah sesuatu yang terjadi ketika suatu ayat turun.[4]
Dari sekian banyak definisi—baik yang
telah penulis paparkan di atas ataupun yang belum—M. Quraish
Shihab memilih pendapat (dan pendapat ini yang juga penulis ikuti) yang
mengatakan bahwa asbab al-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa turunnya ayat, baik sebelum maupun setelah turunnya, dimana kandungan ayat
tersebut berkaitan/dapat dikaitkan dengan peristiwa itu.[5]
B.
Fungsi Asbab al-Nuzul
a.
Membantu siapa saja yang
ingin menafsirkan al-Qur’an dalam memahami dan menangkap maksud dari setiap
ayat yang dibahas.
b.
Menerangkan ayat-ayat yang
rawan disalahpahami dan sering menimbulkan silang pendapat.
c.
Membantah terhadap dugaan keberadaan pembatasan dalam
suatu hukum.
d.
Mengetahui bahwa Asbab al-Nuzul adalah Variabel utama
dalam memahami suatu ayat.
e.
Menngungkap generasi pertama yang menjadi latar
belakang sejarah turunnya suatu ayat.
f.
Memberikan informasi sejarah suatu hokum itu dibentuk.
g.
Memperluas cakrawala pengetahui ilmu syariah.
h.
Meneladani atau belajar dari apa yang dilakukan
orang-orang terdahulu.
i.
Memudahkan dalam menghafal suatu ayat.[6]
C.
Faidah dan Mengetahui
Asbab al-Nuzul
Ada beberapa faidah yang akan didapatkan ketika seseorang
mengetahui asbab al-nuzul. Di antaranya:
a.
Menjelaskan hikmah yang terkandung dalam ayat tersebut.
b.
Mengetahui kekhususan ayat-ayat yang berbentuk umum (khusus bagi
mereka yang berpedoman pada kaidah “al-‘ibrah bi khusus al-sabab laa bi umum
al-lafdzi”) (akan dibahas lebih detail pada pembahasan selanjutnya).
c.
Membantu untuk memahami makna ayat al-Qur’an. Ibnu Daqiq al-‘id
mengatakan, “Mengetahui asbab al-nuzul adalah cara terkuat untuk memahami makna
ayat al-Qur’an”.
D.
Bentuk dan Pola Asbab al-Nuzul
Pertama, Redaksi
Dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Manna’ al-Qathan
menjelaskan bahwa ada dua kalimat yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa menjadi
asbab al-nuzul terhadap suatu ayat. Yakni: (a) hadatsa kadza (terjadilah
seperti ini) dan (b) suila rasulullah ‘an kadza fa nazalat al-ayat
(rasulullah ditanya tentang suatu hal, dan kemudian turunlah ayat ini).[7]
Hal serupa juga dikatakan oleh salah satu pakar tafsir Indonesia,
M. Quraish Shihab. Ia mengatakan bahwa apabila perawi menceritakan suatu
peristiwa dan kemudian mengatakan fa nazalat al-ayat (turunnya ayat ini
disebabkan oleh), maka ayat itu turun dalam masa yang sama (semasa) atau
bersamaan dengan terjadinya peristiwa itu. Namun jika redaksi atau bentuk
kalimat yang digunakan adalah nazalat al-ayat fi... (ayat ini turun
berkenaan dengan...), maka kandungan ayat tersebut menyangkut peristiwa itu.[8]
Dan tidak ada cara lain untuk mengetahui asbab al-nuzul kecuali
dengan riwayat yang shohih. Muhammad Umar Hawali menjelaskan bahwa apa yang
dikatakan shahabat terkait asbab al-nuzul, maka itu dihukumi marfu’. Itu
dianggap marfu’ karena mereka melihat dan atau mendengar lansgung. Berbeda jika
yang berkata itu dari golongan tabi’in. Apa yang mereka katakan tentang asbab
al-nuzul itu dinggap marfu’ selama tidak mursal.[9]
Kedua, Macam-macamnya
Pertama, Banyak ayat, satu sebab
Ini menjelaskan bahwa ada satu sebab yang turun berkaitan atau menjelaskan
banyak ayat. Ini karenanya memang banyak ayat yang turun menjelaskan satu
peristiwwa.
Misalnya, seperti di bawah ini (ketiga ayat di bawah ini turun dengan satu
sebab[10]):
Pertama, apa yang diriwayatkan
oleh oleh Said bin Mansur, ‘Abdurrazaq,
Tirmidzi, Ibn jarir, Ibnul Munzir, Ibn Abi Hatim, Tabrani, dan Hakim yang
mengatakan shahih, dari Ummu Salamah.
Ia berkata:
“Rasullullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan
kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah.”
Maka Allah menurunkan ayat:
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ
دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لأكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ
سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
“Maka tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (dengan firman) ‘sesungguhnya aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki
ataupun perempuan : (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang
lain...’ (Ali ‘Imran [3]:195)
Kedua, apa yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani, dan Ibn Mardawih dari
Ummu Salamah, ia mengatakan;
“Aku telah bertanya:
‘Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam al-Qur’an seperti kaum
laki-laki?’, Maka suatu hari aku dikejutkan oleh suara Rasulullah diatasa
mimbar. Ia membacakan: ‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim...., sampai
akhir ayat 35 surat al-Ahzab.”
Ketiga, apa yang diriwayatkan
oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan: “Kaum laki-laki berperang, sedang
kaum perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah
bagian? Maka Allah menurunkan ayat:
وَلا
تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا
اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan terhadap apa yang dikaruniakan sebagian
dari kamu lebih banyak dari sebagian yang usahakan, dan bagi para wanitapun ada
bagian dari apa yang mereka usahakan pula.” (QS. An-Nisa’ [4]:32)
Dan juga ayat:
……… إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim....” (QS. Al-Ahzab [33]: 35)
Kedua, Ayat turun lebih dulu daripada sebab
Yang perlu diketahui adalah hal ini tidak menunjukkan bahwa ayat itu turun
mengenai hukum tertentu, kemudian pengamalannya datang sesudahnya. Bukan. Tidak
seprti itu. Tetapi hal tersebut menunjukan bahwa ayat itu diturunkan dengan
lafadz mujmal (global), yang mengandung arti lebih dari satu, kemudian
penafsiranya dihubungkan dengan salah satu arti-arti tersebut, sehingga ayat
tadi mengacu pada hukum yang datang kemudian.
Misalnya firman Allah Swt:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
تَزَكَّىٰ
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS. Al A’la [87]:
14).
Ayat tersebut dijadikan dalil untuk zakat
fitrah. Namun menurut Baihaqi dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada Ibn
Umar menjelaskan bahwa ayat itu turun berkaitan dengan dengan zakat fitrah. Kemudian
dengan riwayat yang marfu’, Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama.
Sebagian shahabat: “Aku tidak mengerti maksud pentakwilan
yang seperti ini, sebab surah itu Makki, sedang di Makkah belum ada Idul fitri
dan zakat.”
Didalam ayat tersebut, Bagawi menjelaskan bahwa turunnya sebuah
ayat boleh mendahului hukumnya.[11]
Ketiga, beberapa ayat turun berkaitan dengan satu orang.
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari
satu kali, dan al-Qur’an turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu, banyak
ayat yang turun mengenai setiap peristiwanya. Maka, banyak ayat yang turun berkaitan
dengannya selalu sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi.
Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang
berbakti kepada kedua orang tua. Dari Sa’d bin Abi Waqqas, ia mengatakan:
“Ada empat ayat al-Qur’an yang turun berkenaan denganku.
Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku
meninggalkan Muhammad, lalu Allah Swt. menurunkan:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ
عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ
ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.
Lukman [31]: 15).
Kedua, ketika aku mengambil
sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rasulullah:
“Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang ini”.
Maka turunlah ayat:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْأَنْفَالِ
“Mereka bertanya kepadamu tenytang pembagiuan
harta rampasan perang” (QS. Al-Anfal [8]: 1).
Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah datang
mengunjungilku kemudian aku bertanya kepadanya: “Rasulullah, aku ingin
membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya?”. “Tidak,” Jawab
Rasulullah.
Kemudian aku berkata lagi, “Kalau sepertiga?”. Rasulullah diam.
Maka setelah itu, (aku berkesimpulan bahwa) wasiat dengan sepertiga harta itu
dibolehkan.
Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr)
bersama kaum Ansor, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang
unta. Lalu aku datang kepada Rasulullah, maka Allah Swt. menurunkan ayat
tentang larangan meminum khamr.”
E.
Kekhususan Sabab dan Keumuman Lafadz
Dari
sekian banyak sikap ulama terkait asbab al-nuzul, ada sebagian yang berpegang
teguh pada kaidah: “Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan
kekhususan sebab”.
Oleh
karenanya, ulama kelompok ini tidak memahami ayat al-Qur’an hanya berlakku pada
satu orang saja. Selama ayat itu redaksinya umum, maka juga bisa diberlakukan
dalam kasus yang serupa dengannya.
Namun,
meski demikian, ada beberapa hal perlu digarisbahawahi:
a.
Yang dimaksud dengan “keumumam sabab” pada kaidah di atas
adalah bukan umum secara mutlak. Akan tetapi juga harus memperhatikan kondisi
yang menyertai dimana peristiwa “sabab” itu.
b.
Kekhususan sabab, maksudnya adalah sang pelaku peritiwa
saja.[12]
Terkait pembahasan ini, M. Quraish Shihab memberikan contoh
dalam “Kaidah Tafsir”-nya. yakni firman Allah Swt. QS. Al-Maidah, ayat
33:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ
يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ
يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ
خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ
خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ
فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
Imam Bukhari menjelaskan bahwa ada beberapa ‘Ukal dan
‘Urainah yang setelah menyatakan keislamannya, datang bertemu Nabi. Mereka
mengadu kepada Nabi tentang susahnya hidup mereka. Kemudian nabi memberikan
beberapa unta agar bisa dimanfaatkan.
Di tengah jalan, ternyata satu kelompok merampok kelompok
yang lain. Mereka membunuh penggembala unta itu. Bahkan mereka sampai murtad.
Nabi mendengar kabar itu dan mengutus sejumlah pasukan
berkuda untuk menangkapnya. Kemudian, pasukan itu memotong tangan dan kaki, mencungkil
matanya dengan besi panas, dan menahan mereka sampai meninggal.
Ayat di atas, menurut M. Quraish Shihab, tidak bisa
dipahami secacra umum tanpa melibatkan asbab al-nuzulnya. Karena akan sangat
berbahaya.
Di sisi lain, ada juga kelompok ulama yang berpegang teguh
pada kaidah:
“Yang
dijadikan pegangan ialah kekhususan sabab, bukan keumuman lafadz”.
Ketika
memahami kasus di atas, ulama yang
berpegang pada kaiadah ini akan berkesimpulan bahwa ayat itu hanya berlaku pada
kasus itu saja.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pemahaman yang benar terhadap segala sesuatu akan menghasilkan aksi nyata
benar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini juga berlaku terhadap cara kita memahami
al-Qur’an.
Sebagaimana dibahas di atas, asbab al-nuzul sangat urgen dibutuhkan untuk
memahami al-Qur’an secara benar. Secara singkat, pada akhir makalah ini,
pemakalah mencoba meringkas beberapa hal yang penting terkait tema ini. di
antaranya:
a. Dari sekian banyak
definisi ulama terkait asbab al-nuzul, penulis lebih memilih definisi yang
mengatakan bahwa asbab al-nuzul
adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum
maupun setelah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat
dikaitkan dengan peristiwa itu.
b. Ada beberapa
faidah ketika seseorang bisa memahami asbab al-nuzul. Di antaranya adalah: (a) Menjelaskan
hikmah yang terkandung dalam ayat tersebut; (b) Mengetahui kekhususan ayat-ayat
yang berbentuk umum (khusus bagi mereka yang berpedoman pada kaidah “al-‘ibrah
bi khusus al-sabab laa bi umum al-lafdzi”) (akan dibahas lebih detail pada
pembahasan selanjutnya); dan (c) Membantu untuk memahami makna ayat al-Qur’an.
c. Ada beberapa bentuk dan
pola yang biasa terlaku untuk asbab al-nuzul. Baik berkaitan dengan redaksi
yang dipakai atau macam-macamnya. Redaksinya antara lain: hadatsa kadza dan
suila rasulullah ‘an kadza fa nazalat al-ayat . Juga, ada tiga macam
asbab al-nuzul: (a) banyak ayat, satu
sebab. (b) ayat turun lebih dulu daripada sebab, dan (c) beberapa ayat turun berkaitan dengan satu orang.
d. Ada
ulama yang berpedoman pada kaidah “Yang dijadikan pegangan ialah keumuman
lafadz, bukan kekhususan sebab”, dan ada yang berpatokan pada kaidah “Yang
dijadikan pegangan ialah kekhususan sabab, bukan keumuman lafadz”.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Mukhlis M. (ed.), Asbabun-Nuzul. 2015. Kemenag RI: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an.
Hawali, Muhammad Umar. Nuzul al-Qur’an al-Karim wa Tarikhuhu wa
Ma Yata’alaqu Bihi. T.t. Madinah: t.p.
Al-Qathan, Mannaa’. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. T.t. Kairo:
Matkabah Wahbah.
Rasyid, Imaduddin Muhammad. Asbab al-Nuzul wa Atsaruha fi Bayan
al-Nushush. t.t. t.tp.: Dar al-Shabab
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. 2013. Tangerang: Penerbit
Lentera
Al-Zurqani, Muhammad Abdul Adzim. Manahilul ‘Irfan. T.t. T.tp.:
Dar al-Kitab al-‘Araby
[1] Imaduddin
Muhammad Rasyid, Asbab al-Nuzul wa Atsaruha fi Bayan al-Nushush (t.tp.:
Dar al-Shabab, t.t.), h. 17
[2] Muhammad Abdul
Adzim al-Zurqani, Manahilul ‘Irfan (t.tp.: Dar al-Kitab al-‘Araby,
t.t.), h. 89.
[3] Mannaa’
al-Qathan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Matkabah Wahbah, t.t.),
h. 74
[4] Imaduddin
Muhammad Rasyid, Asbab al-Nuzul wa Atsaruha..., h. 17
[5] M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentara Hati, 2013), h. 235
[6] Mukhlis M. Hanafi (ed.), Asbabun-Nuzul (Kemenag RI: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2015), h. 15.
[7] Mannaa’
al-Qathan, Mabahis..., h. 81
[8] M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, h. 238
[9] Muhammad Umar
Hawali, Nuzul al-Qur’an al-Karim wa Tarikhuhu wa Ma Yata’alaqu Bihi
(Madinah: t.p., t.t.), h. 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar