Senin, 11 Desember 2017

Makalah Asbab al-Nuzul

  Makalah Asbab al-Nuzul
                             Oleh:                                 
Farid Muhlasol
M. Nurul Huda

KATA PENGANTAR
Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang penuh dengan makna. Tidak saja umat muslim, siapapun yang memahami al-Qur’an, akan mendapatkan pencerahan yang sangat mencerahkan. Bahkan akan berbeda antar satu orang dengan orang yang lain.
Tentunya, pemahaman yang dimaksud di atas adalah pem
ahaman yang benar. Dan salah satu cara untuk memahami al-Qur’an secara benar adalah dengan memahami asbab al-nuzulnya. Tanpanya, impian untuk mendapatkan pencerahan dari al-Qur’an hanya akan sia-sia saja. Memang, ini tidak berlaku untuk seluruh ayat. Karena memang ada ayat yang tidak ada asbab al-nuzulnya. Ayat model yang terakhir ini bisa dipahamai, meski tanpa memahami terlebih dalulu asbab al-nuzulnya.
Dalam makalah yang singkat ini, pemakalah mencoba membahas tentang asbab al-nuzul. Baik dari segi definisi, pola, dan beberapa hal yang terkait dengannya. Sekian. Selamat membaca.


Jakarta Selatan, 25 September 2017


           Pemakalah



PEMBAHASAN
A.  Definisi Asbab al-Nuzul
Kata Asbab al-Nuzul adalah gabungan antara dua kata. Yang pertama asbab dan yang kedua nuzul. Tidak ada definisi yang bisa menggambarkan gabungan dua kata ini. Jika pun ada, itu harus dimaknai satu persatu.[1]  
Asbab adalah jamak dari sabab. Ada banyak makna dari kata sabab. Di antaranya:
a.    Tali. Ini berkesuaian dengan firman Allah Swt., surat al-Hajj, ayat 15.
b.    Jalan/cara.
c.    Pintu. Ini sesuai dengan firman Allah, surat Ghafir, ayat 36-37.
d.   Sesuatu yang menyambungkan satu hal dengan hal lain (makna majazi). Misalnya, al-Baqarah ayat 166.
Sedangkan nuzul bermakna menempati.
Ada banyak pendapat tentang definisi asbab al-nuzul yang diberikan oleh para cendekiawan. Di antaranya:
Pertama, menurut Az-Zarqani adalah peristiwa yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya ayat al-Qur’an, yang mana hal itu berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.[2]
Kedua, menurut Mana’ al-Qathan. Menurutnya, Asbab al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-Qur’an di saat peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan.[3]
Ketiga, menurut al-Suyuti—sebagaimana dikutip Imaduddin Muhammad Rasyid—mengatakan bahwa Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang terjadi ketika suatu ayat turun.[4]
Dari sekian banyak definisi—baik yang telah penulis paparkan di atas ataupun yang belum—M. Quraish Shihab memilih pendapat (dan pendapat ini yang juga penulis ikuti) yang mengatakan bahwa asbab al-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun setelah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat dikaitkan dengan peristiwa itu.[5]
B.  Fungsi Asbab al-Nuzul
a.       Membantu siapa saja yang ingin menafsirkan al-Qur’an dalam memahami dan menangkap maksud dari setiap ayat yang dibahas.
b.      Menerangkan ayat-ayat yang rawan disalahpahami dan sering menimbulkan silang pendapat.
c.       Membantah terhadap dugaan keberadaan pembatasan dalam suatu hukum.
d.      Mengetahui bahwa Asbab al-Nuzul adalah Variabel utama dalam memahami suatu ayat.
e.       Menngungkap generasi pertama yang menjadi latar belakang sejarah turunnya suatu ayat.
f.       Memberikan informasi sejarah suatu hokum itu dibentuk.
g.      Memperluas cakrawala pengetahui ilmu syariah.
h.      Meneladani atau belajar dari apa yang dilakukan orang-orang terdahulu.
i.        Memudahkan dalam menghafal suatu ayat.[6]
C.    Faidah dan Mengetahui Asbab al-Nuzul
Ada beberapa faidah yang akan didapatkan ketika seseorang mengetahui asbab al-nuzul. Di antaranya:
a.    Menjelaskan hikmah yang terkandung dalam ayat tersebut.
b.    Mengetahui kekhususan ayat-ayat yang berbentuk umum (khusus bagi mereka yang berpedoman pada kaidah “al-‘ibrah bi khusus al-sabab laa bi umum al-lafdzi”) (akan dibahas lebih detail pada pembahasan selanjutnya).
c.    Membantu untuk memahami makna ayat al-Qur’an. Ibnu Daqiq al-‘id mengatakan, “Mengetahui asbab al-nuzul adalah cara terkuat untuk memahami makna ayat al-Qur’an”.
D.  Bentuk dan Pola Asbab al-Nuzul
Pertama, Redaksi
Dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Manna’ al-Qathan menjelaskan bahwa ada dua kalimat yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa menjadi asbab al-nuzul terhadap suatu ayat. Yakni: (a) hadatsa kadza (terjadilah seperti ini) dan (b) suila rasulullah ‘an kadza fa nazalat al-ayat (rasulullah ditanya tentang suatu hal, dan kemudian turunlah ayat ini).[7]
Hal serupa juga dikatakan oleh salah satu pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab. Ia mengatakan bahwa apabila perawi menceritakan suatu peristiwa dan kemudian mengatakan fa nazalat al-ayat (turunnya ayat ini disebabkan oleh), maka ayat itu turun dalam masa yang sama (semasa) atau bersamaan dengan terjadinya peristiwa itu. Namun jika redaksi atau bentuk kalimat yang digunakan adalah nazalat al-ayat fi... (ayat ini turun berkenaan dengan...), maka kandungan ayat tersebut menyangkut peristiwa itu.[8]
Dan tidak ada cara lain untuk mengetahui asbab al-nuzul kecuali dengan riwayat yang shohih. Muhammad Umar Hawali menjelaskan bahwa apa yang dikatakan shahabat terkait asbab al-nuzul, maka itu dihukumi marfu’. Itu dianggap marfu’ karena mereka melihat dan atau mendengar lansgung. Berbeda jika yang berkata itu dari golongan tabi’in. Apa yang mereka katakan tentang asbab al-nuzul itu dinggap marfu’ selama tidak mursal.[9]
Kedua, Macam-macamnya
Pertama, Banyak ayat, satu sebab
Ini menjelaskan bahwa ada satu sebab yang turun berkaitan atau menjelaskan banyak ayat. Ini karenanya memang banyak ayat yang turun menjelaskan satu peristiwwa.
Misalnya, seperti di bawah ini (ketiga ayat di bawah ini turun dengan satu sebab[10]):
Pertama, apa yang diriwayatkan oleh  oleh Said bin Mansur, ‘Abdurrazaq, Tirmidzi, Ibn jarir, Ibnul Munzir, Ibn Abi Hatim, Tabrani, dan Hakim yang mengatakan shahih, dari Ummu Salamah.
Ia berkata:
“Rasullullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah.”
Maka Allah menurunkan ayat:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لأكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
Maka tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan firman) ‘sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki ataupun perempuan : (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...’ (Ali ‘Imran [3]:195)
Kedua, apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Tabarani, dan Ibn Mardawih dari Ummu Salamah, ia mengatakan;
Aku telah bertanya: ‘Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam al-Qur’an seperti kaum laki-laki?’, Maka suatu hari aku dikejutkan oleh suara Rasulullah diatasa mimbar. Ia membacakan: ‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim...., sampai akhir ayat 35 surat al-Ahzab.
Ketiga, apa yang diriwayatkan oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan: “Kaum laki-laki berperang, sedang kaum perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat:
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan terhadap apa yang dikaruniakan sebagian dari kamu lebih banyak dari sebagian yang usahakan, dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.” (QS. An-Nisa’ [4]:32)
Dan juga ayat:
……… إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim....” (QS. Al-Ahzab [33]: 35)
Kedua, Ayat turun lebih dulu daripada sebab
Yang perlu diketahui adalah hal ini tidak menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai hukum tertentu, kemudian pengamalannya datang sesudahnya. Bukan. Tidak seprti itu. Tetapi hal tersebut menunjukan bahwa ayat itu diturunkan dengan lafadz mujmal (global), yang mengandung arti lebih dari satu, kemudian penafsiranya dihubungkan dengan salah satu arti-arti tersebut, sehingga ayat tadi mengacu pada hukum yang datang kemudian.
Misalnya firman Allah Swt:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS. Al A’la [87]: 14).
Ayat tersebut dijadikan dalil untuk zakat fitrah. Namun menurut Baihaqi dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada Ibn Umar menjelaskan bahwa ayat itu turun berkaitan dengan dengan zakat fitrah. Kemudian dengan riwayat yang marfu’, Baihaqi meriwayatkan pula keterangan yang sama.
Sebagian shahabat: “Aku tidak mengerti maksud pentakwilan yang seperti ini, sebab surah itu Makki, sedang di Makkah belum ada Idul fitri dan zakat.”
Didalam ayat tersebut, Bagawi menjelaskan bahwa turunnya sebuah ayat boleh mendahului hukumnya.[11]
Ketiga, beberapa ayat turun berkaitan dengan satu orang.
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari satu kali, dan al-Qur’an turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu, banyak ayat yang turun mengenai setiap peristiwanya. Maka, banyak ayat yang turun berkaitan dengannya selalu sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi.
Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang berbakti kepada kedua orang tua. Dari Sa’d bin Abi Waqqas, ia mengatakan:
“Ada empat ayat al-Qur’an yang turun berkenaan denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah Swt. menurunkan:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Lukman [31]: 15).
Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rasulullah: “Rasulullah, berikanlah kepadaku pedang ini”.
Maka turunlah ayat:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ 
Mereka  bertanya kepadamu tenytang pembagiuan harta rampasan perang” (QS. Al-Anfal [8]: 1).
Ketiga, ketika aku sedang sakit Rasulullah datang mengunjungilku kemudian aku bertanya kepadanya: “Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya?”. “Tidak,” Jawab Rasulullah.
Kemudian aku berkata lagi, “Kalau sepertiga?”. Rasulullah diam. Maka setelah itu, (aku berkesimpulan bahwa) wasiat dengan sepertiga harta itu dibolehkan.
Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr) bersama kaum Ansor, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta. Lalu aku datang kepada Rasulullah, maka Allah Swt. menurunkan ayat tentang larangan meminum khamr.”
E.  Kekhususan Sabab dan Keumuman Lafadz
Dari sekian banyak sikap ulama terkait asbab al-nuzul, ada sebagian yang berpegang teguh pada kaidah: “Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab”.
Oleh karenanya, ulama kelompok ini tidak memahami ayat al-Qur’an hanya berlakku pada satu orang saja. Selama ayat itu redaksinya umum, maka juga bisa diberlakukan dalam kasus yang serupa dengannya.
Namun, meski demikian, ada beberapa hal perlu digarisbahawahi:
a.       Yang dimaksud dengan “keumumam sabab” pada kaidah di atas adalah bukan umum secara mutlak. Akan tetapi juga harus memperhatikan kondisi yang menyertai dimana peristiwa “sabab” itu.
b.      Kekhususan sabab, maksudnya adalah sang pelaku peritiwa saja.[12]
Terkait pembahasan ini, M. Quraish Shihab memberikan contoh dalam “Kaidah Tafsir”-nya. yakni firman Allah Swt. QS. Al-Maidah, ayat 33:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. 
Imam Bukhari menjelaskan bahwa ada beberapa ‘Ukal dan ‘Urainah yang setelah menyatakan keislamannya, datang bertemu Nabi. Mereka mengadu kepada Nabi tentang susahnya hidup mereka. Kemudian nabi memberikan beberapa unta agar bisa dimanfaatkan.
Di tengah jalan, ternyata satu kelompok merampok kelompok yang lain. Mereka membunuh penggembala unta itu. Bahkan mereka sampai murtad.
Nabi mendengar kabar itu dan mengutus sejumlah pasukan berkuda untuk menangkapnya. Kemudian, pasukan itu memotong tangan dan kaki, mencungkil matanya dengan besi panas, dan menahan mereka sampai meninggal.
Ayat di atas, menurut M. Quraish Shihab, tidak bisa dipahami secacra umum tanpa melibatkan asbab al-nuzulnya. Karena akan sangat berbahaya.
Di sisi lain, ada juga kelompok ulama yang berpegang teguh pada kaidah:
“Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sabab, bukan keumuman lafadz”.
Ketika memahami kasus di atas, ulama  yang berpegang pada kaiadah ini akan berkesimpulan bahwa ayat itu hanya berlaku pada kasus itu saja.



KESIMPULAN DAN PENUTUP
Pemahaman yang benar terhadap segala sesuatu akan menghasilkan aksi nyata benar. Begitu juga sebaliknya. Hal ini juga berlaku terhadap cara kita memahami al-Qur’an.
Sebagaimana dibahas di atas, asbab al-nuzul sangat urgen dibutuhkan untuk memahami al-Qur’an secara benar. Secara singkat, pada akhir makalah ini, pemakalah mencoba meringkas beberapa hal yang penting terkait tema ini. di antaranya:
a.       Dari sekian banyak definisi ulama terkait asbab al-nuzul, penulis lebih memilih definisi yang mengatakan bahwa asbab al-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun setelah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat dikaitkan dengan peristiwa itu.
b.      Ada beberapa faidah ketika seseorang bisa memahami asbab al-nuzul. Di antaranya adalah: (a) Menjelaskan hikmah yang terkandung dalam ayat tersebut; (b) Mengetahui kekhususan ayat-ayat yang berbentuk umum (khusus bagi mereka yang berpedoman pada kaidah “al-‘ibrah bi khusus al-sabab laa bi umum al-lafdzi”) (akan dibahas lebih detail pada pembahasan selanjutnya); dan (c) Membantu untuk memahami makna ayat al-Qur’an.
c.       Ada beberapa bentuk dan pola yang biasa terlaku untuk asbab al-nuzul. Baik berkaitan dengan redaksi yang dipakai atau macam-macamnya. Redaksinya antara lain: hadatsa kadza dan suila rasulullah ‘an kadza fa nazalat al-ayat . Juga, ada tiga macam asbab al-nuzul: (a) banyak ayat, satu sebab. (b) ayat turun lebih dulu daripada sebab, dan (c) beberapa ayat turun berkaitan dengan satu orang.
d.      Ada ulama yang berpedoman pada kaidah “Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab”, dan ada yang berpatokan pada kaidah “Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sabab, bukan keumuman lafadz”.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Mukhlis M. (ed.), Asbabun-Nuzul. 2015. Kemenag RI: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Hawali, Muhammad Umar. Nuzul al-Qur’an al-Karim wa Tarikhuhu wa Ma Yata’alaqu Bihi. T.t. Madinah: t.p.
Al-Qathan, Mannaa’. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. T.t. Kairo: Matkabah Wahbah.
Rasyid, Imaduddin Muhammad. Asbab al-Nuzul wa Atsaruha fi Bayan al-Nushush. t.t. t.tp.: Dar al-Shabab
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. 2013. Tangerang: Penerbit Lentera
Al-Zurqani, Muhammad Abdul Adzim. Manahilul ‘Irfan. T.t. T.tp.: Dar al-Kitab al-‘Araby



[1] Imaduddin Muhammad Rasyid, Asbab al-Nuzul wa Atsaruha fi Bayan al-Nushush (t.tp.: Dar al-Shabab, t.t.), h. 17
[2] Muhammad Abdul Adzim al-Zurqani, Manahilul ‘Irfan (t.tp.: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.t.), h. 89.
[3] Mannaa’ al-Qathan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Matkabah Wahbah, t.t.), h.  74
[4] Imaduddin Muhammad Rasyid, Asbab al-Nuzul wa Atsaruha..., h. 17
[5] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentara Hati, 2013), h. 235
[6] Mukhlis M. Hanafi (ed.), Asbabun-Nuzul (Kemenag RI: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2015), h. 15. 
[7] Mannaa’ al-Qathan, Mabahis..., h. 81
[8] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 238
[9] Muhammad Umar Hawali, Nuzul al-Qur’an al-Karim wa Tarikhuhu wa Ma Yata’alaqu Bihi (Madinah: t.p., t.t.), h. 62
[10] Mannaa’ al-Qathan, Mabahis..., h. 88
[11] Mannaa’ al-Qathan, Mabahis..., h. 89
[12] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersama Para Guru