Jumat, 05 Januari 2018

Makalah Tafsir Maudlu'i tentang Puasa Sunnah



TAFSIR MAUDHUI IBADAH
PUASA SUNNAH
Oleh:
Farid Muhlasol
Ikmal Ramadan

PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui agama Islam mempunyai lima rukun Islam yang salah satunya ialah puasa, puasa termasuk rukun Islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun Islam jadi, semua umat Islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat Islam yang tidak melaksanakannya, karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat Islam juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar.
Banyak orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar
menjalankan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala.
Secara garis besar puasa digolongkan menjadi dua yaitu puasa wajib dan sunnah. Puasa wajib merupakan salah satu dari rukun Islam, yaitu puasa Ramadhan, Selain puasa wajib ada juga puasa sunnah yang dianjurkan Rasulullah seperti puasa enam hari pada  bulan Syawal, puasa Rajab, puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa Arafah, Puasa Asyura, puasa Sya’ban, puasa Muharram, dan lain lain.




PEMBAHASAN
1.      Pengertian Puasa Sunnah
Puasa dalam bahasa Arab diistilahakan dengan “Shaum” atau “Shiyam”. Secara etimologi “Shaum” atau “Shiyam” itu berarti “al-Imsak” yaitu menahan dari segala sesuatu. Sedangkan puasa secara syara’ adalah “Menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri dan apa saja yang bisa membatalkan puasa, dengan niat yang khusus seperti niat puasa Ramadhan, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan mengharap ridha Allah SWT.[1]
Sunnah secara hukum fiqih adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa (tidak apa-apa).
Jadi, puasa sunnah adalah puasa yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa (tidak apa-apa). Adapun pensyari’atan puasa sunnah tidak diwajibkan melainkan dianjurkan, bila tidak dikerjakan maka tidak wajib mengqadla’.[2]
Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah
a.       Berpuasa tidak dalam rangka beribadah kepada Allah
      Semisal seseorang yang berpuasa karena hendak mendapatkan bantuan dari jin/syaitan berupa sihir atau yang lainnya, atau bernazar puasa kepada selain Allah,  maka perbuatan ini termasuk kesyirikan yang besar karena memalingkan ibadah kepada selain Allah swt. Adapun seseorang yang berpuasa semata-mata karena alasan kesehatan, walaupun hal ini boleh-boleh saja akan tetapi ia keluar dari pengertian puasa yang syar’i sehingga tidaklah ia termasuk orang yang mendapatkan keutamaan puasa sebagaimana yang dijanjikan Allah swt.
b.      Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar. Berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، قَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ، قُلْتُ: لا، قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ، فَقَالَ: أَدْنِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا، فَأَكَل
Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi SAW  pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata,“Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab,“Tidak ada.” Beliau pun berkata,“Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurma, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa”, Lalu beliau menyantapnya.[3]
c.       Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadis ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya.
d.      Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya.
Berdasarkan hadits nabi dari Abu Hurairah r.a Rasulallah SAW bersabda:
لا يحل للمرأة ان تصوم وزوجها شاهد الا باذنه (متفق عليه)
“Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya” (HR.Bukhari Muslim) [4]


2.      Ayat-ayat tentang puasa sunnah
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan apa yang diberikan Rasul bagi kamu maka terimalah  dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah sangat keras pembalasan-Nya.”

Ayat di atas sebenarnya memang pada awalnya turun dalam konteks pembagian harta rampasan, akan tetapi penggalan ayat di atas pun telah menjadi ketentuan umum bahwa kita sebagai muslim harus tunduk terhadap ketetapan Rasul serta kebijaksanaannya di berbagai hal apapun, baik itu tertulis secara jelas dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam hadis, termasuk anjuran puasa sunnah yang penulis bahas dalam makalah ini.[5]
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم، وما نهيتكم عنه فاجتنبوه                                     
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian, dan apa yang aku larang maka jauhilah” yakni apapun yang diperintahkan Rasul kepada kita maka kerjakanlah semampu kita, dan apa yang beliau larang maka tinggalkan/jauhilah, karena sebenarnya beliau hanya memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan .[6]
   
Term أتاكم  diatas Para Ulama’ tafsir berbeda pendapat dalam penafsirannya, Dalam tafsir al-Misbah dan Ibnu Katsir menafsirkannya dengan أمركم (Perintah). Berbeda dengan tafsir Munir yang menafsirkan dengan أعطاكم (Pemberian). [7]
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya terdapat empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
Ayat di atas menjelaskan tentang 4 bulan yang dimuliakan Allah  yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab.
Dalam ayat di atas penulis mengambil keterangan tentang puasa sunnah dari potongan ayat فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ  dengan penjelasan bahwa kita tidak boleh menganiaya diri sendiri pada bulan-bulan yang telah penulis terangkan di atas. Larangan menganiaya atau melakukan dosa pada keempat bulan itu bukan berarti pada bulan-bulan sisanya dosa dapat dilakukan. Namun Yang dimaksud adalah penekanan khusus pada keempat bulan itu karena ia merupakan bulan-bulan ibadah lagi agung di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, beribadah pada bulan-bulan tersebut berdampak positif dan mengundang banyak pahala layaknya puasa sunnah yang penulis bahas dalam makalah ini, demikian pula sebaliknya berdosa mengakibatkan murka yang besar.[8]
Menurut al-Razi dalam kitabnya  Mafatih al-Ghaib kata Hurum diartikan sebagai bulan-bulan yang didalamnya terdapat pahala yang lebih besar jika kita melakukan kebaikan / ketaatan, namun sebaliknya akan lebih besar dosa yang didapat jika kita melakukan kemaksiatan pada bulan-bulan tersebut.[9]
           

Macam-macam Puasa Sunnah:
1.      Puasa Hari Senin dan Kamis
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ ، قَالَ : " ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a., bahwasanya  Rasulullah  SAW  pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lalu beliau bersabda, “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu ditutunkan (wahyu) kepadaku”.[10]
عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يتحرى صومَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيس (رواه الترمذي)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a berkata bahwasanya Nabi SAW memilih berpuasa pada hari senin dan kamis. (HR. At-Tirmidzi)[11]
2.      Puasa  Ayyamul Bidl, Hari Arafah,  dan Asyura
عن أبي قتادة رضي االله عنه قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْر، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ، صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَه.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a Rasulullah SAW bersabda: Berpuasa tiga hari setiap bulan, dan berpuasa  dari Ramadhan ke Ramadhan adalah sama dengan berpuasa setahun penuh. Berpuasa pada hari Arafah: Aku mohon kepada Allah agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun sesudahnya, sedangkan berpuasa pada hari Asyura, aku mohon kepada Allah agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya[12]. 

3.      Puasa Tasu’a
عَنِ الْحَكَمِ عن الْأَعْرَجِ، قَالَ: انْتَهَيْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِي زَمْزَمَ، فَقُلْتُ لَهُ أَخْبِرْنِي عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ، وَأَصْبِحْ يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا، قُلْتُ: هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، قَالَ: نَعَمْ.                                                        
Diriwayatkan dari al-Hakam, dari al-A’raj, ia berkata: Aku pernah mendatangi Ibnu Abbas r.a ketika dia berbantal selendangnya di Zamzam, lalu aku katakan kepadanya, “Beritahukan kepadaku tentang puasa Asyura”! Dia menjawab “Apabila kamu telah melihat hilal di bulan Muharram, maka hitunglah, lalu jalanilah puasa sejak shubuh pada tanggal 9”. Aku tanyakan “Apakah Nabi Muhammad SAW berpuasa seperti itu?” Dia menjawab “Ya”[13].

4.      Puasa 6 Hari Bulan Syawal
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله قَالَ:  مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدّهْر                                  
Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari r.a bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) bagaikan puasa setahun penuh.[14]
5.      Puasa Bulan Muharram
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ      
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda: Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat di malam hari[15].

6.       Puasa Bulan Sya’ban
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عنها عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا (أخرجه البخاري)                      
Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah r.a tentang puasa Rasulullah SAW, lalu dia menjawab “Rasulullah pernah berpuasa (Sunnah) sehingga kami mengatakan bahwa beliau berpuasa, dan pernah tidak berpuasa sehingga kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa, dan aku tidak mengetahui beliau berpuasa (Sunnah) di bulan-bulan lain yang lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’ban. Beliau pernah berpuasa penuh di bulan Sya’ban, juga pernah berpuasa di bulan Sya’ban tidak penuh.[16]
7.      Puasa Rajab
أَخْبَرَنَا دَعْلَجٌ، ثنا مُوسَى بْنُ هَارُونَ، وَابْنُ شِيرَوَيْهِ، قَالا: ثنا إِسْحَاقُ، أنبا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ، فَقَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ " أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ
Mengabarkan kepada kami Da’laj, Musa bin Harun, dan Ibnu Syirawaih, keduanya berkata: mengabarkan pada kami Ishaq, Abdah bin Sulaiman, Utsman bin Hakim, berkata: aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab, Sa’id menjawab: Ibnu Abbas mengabarkan pada kami bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada bulan Rajab.[17]
8.      Puasa Daud

 حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ أَخْبَرَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ سَمِعْتُ عَطَاءً أَنَّ أَبَا الْعَبَّاسِ الشَّاعِرَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَسْرُدُ الصَّوْمَ وَأُصَلِّي اللَّيْلَ فَإِمَّا أَرْسَلَ إِلَيَّ وَإِمَّا لَقِيتُهُ فَقَالَ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلَا تُفْطِرُ وَتُصَلِّي فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا قَالَ إِنِّي لَأَقْوَى لِذَلِكَ قَالَ فَصُمْ صِيَامَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ وَكَيْفَ قَالَ كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا وَلَا يَفِرُّ إِذَا لَاقَى قَالَ مَنْ لِي بِهَذِهِ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ عَطَاءٌ لَا أَدْرِي كَيْفَ ذَكَرَ صِيَامَ الْأَبَدِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ مَرَّتَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Ali telah mengabarkan kepada kami Abu 'Ashim dari Abu Juraij aku mendengar 'Atho' bahwa Abu Al 'Abbas Asy-Sya'ir mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma (berkata,); Telah sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berita tentang aku bahwa aku akan terus berpuasa dan shalat malam. Aku tak ingat lagi, apakah kemudian beliau mengutus utusan atau aku menemui beliau, dan Beliau berkata: "Apakah benar kabar bahwa kamu akan berpuasa tidak akan berbuka dan shalat malam (tanpa tidur)? Puasa dan berbukalah, shalat dan juga tidurlah. Karena bagi matamu ada bagian hak atasmu dan bagi dirimu dan keluargamu ada bagian hak atasmu". 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma berkata: "Sungguh aku lebih kuat dari (amal amal) itu". Beliau berkata: "Kalau begitu puasalah dengan puasanya Nabi Daud Alaihissalam". Dia bertanya: "Bagaimana caranya". Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menawab: "Nabi Daud 'Alaihissalam berpuasa sehari dan berbuka sehari sehingga dia tidak akan kabur ketika berjumpa dengan musuh". Dia berkata: "Lalu Siapa teladan bagi diriku dalam masalah puasa sepanjang jaman ini wahai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Allah? 'Atho' berkata: "Aku tidak tahu bagaimana dia menyebutkan puasa abadi (sepanjang hidup), karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak dianggap puasa bagi siapa yang puasa abadi". Beliau mengucapkannya dua kali.[18]





PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, sudah seharusnya kita mengikuti ajaran-ajarannya, terlebih apa yang telah dianjurkan dan dilakukan oleh Nabi, dalam makalah di atas penulis telah memaparkan bahwa apa-apa yang datangnya dari Nabi, maka sudah sepantasnya kita ikuti. Karena sesungguhnya beliau tidak akan memerintah kecuali dalam hal kebaikan. Seperti puasa sunnah misalnya, beliau telah menganjurkan beberapa puasa sunnah yang telah penulis paparkan di atas, di antaranya berpuasa di bulan-bulan haram, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa hari Arafah, puasa Rajab, Puasa Muharram dan lain-lain. Jika kita melakukan kebaikan seperti (puasa) di bulan-bulan haram maka akan  lebih besar pahala yang akan kita dapatkan.    
Demikianlah penjelasan tentang puasa sunnah beserta dalil-dalil yang telah penulis sebutkan dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat terhadap penulis pribadi, serta bermanfaat terhadap orang lain, sehingga kita dapat meningkatkan kualitas ibadah kita baik dalam bentuk ibadah fardhu maupun sunnah.
Begitu pula penulis sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan  menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan, maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran serta koreksi dari para pembaca. Wallahu A’lam.  








DAFTAR PUSTAKA

Nawawi al-Jawi, Muhammad. Tausyikh ala Ibn Qasim. Surabaya: Imaratullah.
Al-Nawawi, Imam . 2002. Raudhah al-Thalibin .Beirut: Dar Ibnu Hazm .
Al-Asqalani, Ibnu Hajr.  Bulugh al-Maram. Surabaya: Maktabah Dar al-Jawahir.
Shihab, M. Quraish. 2009.  Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Muhammad al-Sheikh, Abdullah bin. 1994.  Lubab al-Tafsir min Ibnu Katsir. Kairo: Muassasah Dar al-Hilal .
Zuhaili, Wahbah. 2009.  Al-Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr.
Al-Mundziri, Imam. 2003.  Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Amani. 
Al-Nawawi, Imam. 2007. Riyadh al-Shalihin. Beirut: Dar Ibnu Katsir.
Fakhruddin, M. Al-Razi. 1981. Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib Juz.15. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. 1.
Muhammad, Abu. 2010.  Syarh Kitab al-Shaum min Shahih al-Bukhari. Maktabah al- Ulum wa al-Hikam. Cet. 1





[1] Muhammad Nawawi al-Jawi, Tausyikh ala Ibn Qasim, (Surabaya: Imaratullah) Hal.110
[2] Imam al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2002), Cet. 1, Hal. 345-346.

[3] Ibnu Hajr al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Surabaya: Maktabah Dar al-Jawahir), Hal. 138
[4] Ibnu Hajr al-Asqalani,,,  Hal. 143
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Vol. 13, Hal. 533.
[6] Abdullah bin Muhammad al-Sheikh, Lubab al-Tafsir min Ibnu Katsir, (Kairo: Muassasah Dar al-Hilal, 1994), Jilid 8, Cet. 1, Hal 110.
[7] Wahbah Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009), Jilid 14, Cet. 10, Hal. 451
[8] M. Quraish Shihab,,, Vol. 5, Hal. 89-90
[9] M. Al-Razi Fakhruddin, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib Juz.16, (Beirut: Dar al-Fikr,1981), Cet. 1, Hal. 53

[10] Imam al-Mundziri,  Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), Cet. II, Hal. 346
[11] Imam al-Nawawi, Riyadh al-Shalihin, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2007), Hal. 351
[12] Imam al-Mundziri,,, Hal. 345
[13] Imam al-Mundziri,,,Hal. 341
[14] Imam al-Mundziri,,,Hal. 344
[15] Imam al-Mundziri,,, Hal. 340
[16] Imam al-Mundziri,,, Hal. 343
[17]http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=637&hid=592&pid=32527
[18] Abu Muhammad, Syarh Kitab al-Shaum min Shahih al-Bukhari, (Maktabah al- Ulum wa al-Hikam, 2010), cet.1, Hal. 181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bersama Para Guru