TAFSIR
MAUDHU’I IBADAH
PUASA
SUNNAH
Oleh:
Farid
Muhlasol
Ikmal
Ramadan
PENDAHULUAN
Seperti yang
kita ketahui agama Islam mempunyai lima rukun Islam yang salah satunya ialah puasa,
puasa termasuk rukun Islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun Islam
jadi, semua umat Islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak
umat Islam yang tidak melaksanakannya, karena mereka tidak mengetahui manfaat
dan hikmah puasa. Bahkan, umat Islam juga masih banyak yang tidak
mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan
benar.
Banyak
orang-orang yang melaksanakan puasa hanya sekedar
menjalankan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala.
menjalankan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya, pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala.
Secara garis
besar puasa digolongkan menjadi dua yaitu puasa wajib dan sunnah. Puasa wajib merupakan
salah satu dari rukun Islam, yaitu puasa Ramadhan, Selain puasa wajib ada juga
puasa sunnah yang dianjurkan Rasulullah seperti puasa enam hari pada bulan Syawal, puasa Rajab, puasa pada hari Senin
dan Kamis, puasa Arafah, Puasa Asyura, puasa Sya’ban, puasa Muharram, dan lain
lain.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Puasa Sunnah
Puasa dalam bahasa Arab diistilahakan dengan “Shaum” atau
“Shiyam”. Secara etimologi “Shaum” atau “Shiyam” itu berarti “al-Imsak” yaitu
menahan dari segala sesuatu. Sedangkan puasa secara syara’ adalah “Menahan diri
dari makan, minum, hubungan suami istri dan apa saja yang bisa membatalkan
puasa, dengan niat yang khusus seperti niat puasa Ramadhan, mulai dari terbit
fajar sampai terbenam matahari, dengan mengharap ridha Allah SWT.[1]
Sunnah secara hukum fiqih adalah sesuatu yang apabila
dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa (tidak
apa-apa).
Jadi, puasa sunnah adalah puasa yang apabila dikerjakan
mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa (tidak apa-apa). Adapun
pensyari’atan puasa sunnah tidak diwajibkan melainkan dianjurkan, bila tidak
dikerjakan maka tidak wajib mengqadla’.[2]
Ketentuan
dalam Melakukan Puasa Sunnah
a. Berpuasa tidak dalam rangka beribadah kepada Allah
Semisal
seseorang yang berpuasa karena hendak mendapatkan bantuan dari jin/syaitan
berupa sihir atau yang lainnya, atau bernazar puasa kepada selain Allah,
maka perbuatan ini termasuk kesyirikan yang besar karena memalingkan ibadah
kepada selain Allah swt. Adapun seseorang yang berpuasa semata-mata karena
alasan kesehatan, walaupun hal ini boleh-boleh saja akan tetapi ia keluar dari
pengertian puasa yang syar’i sehingga tidaklah ia termasuk orang yang
mendapatkan keutamaan puasa sebagaimana yang dijanjikan Allah swt.
b.
Boleh
berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama
tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka
niatnya harus dilakukan sebelum fajar. Berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan
oleh Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، قَالَتْ: دَخَلَ
عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، فَقَالَ: هَلْ
عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ، قُلْتُ: لا، قَالَ: فَإِنِّي إِذًا صَائِمٌ، ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا
آخَرَ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ، فَقَالَ: أَدْنِيهِ
فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا، فَأَكَل
Dari
‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi SAW
pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata,“Apakah kalian
memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab,“Tidak ada.” Beliau pun
berkata,“Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain
beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan
hays (jenis makanan berisi campuran kurma, samin dan tepung).” Lantas beliau
bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat
puasa”, Lalu beliau menyantapnya.[3]
c.
Boleh
menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadis ‘Aisyah
diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin
memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya.
d.
Seorang istri tidak boleh
berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya.
Berdasarkan hadits nabi
dari Abu Hurairah r.a Rasulallah SAW bersabda:
لا يحل للمرأة ان تصوم وزوجها شاهد الا باذنه (متفق
عليه)
“Janganlah
seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya” (HR.Bukhari Muslim) [4]
2. Ayat-ayat tentang puasa
sunnah
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan apa yang diberikan Rasul bagi
kamu maka terimalah dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah
sesungguhnya Allah sangat keras pembalasan-Nya.”
Ayat di atas sebenarnya memang pada awalnya turun dalam
konteks pembagian harta rampasan, akan tetapi penggalan ayat di atas pun telah
menjadi ketentuan umum bahwa kita sebagai muslim harus tunduk terhadap
ketetapan Rasul serta kebijaksanaannya di berbagai hal apapun, baik itu
tertulis secara jelas dalam Al-Qur’an maupun yang terdapat dalam hadis,
termasuk anjuran puasa sunnah yang penulis bahas dalam makalah ini.[5]
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم،
وما نهيتكم عنه فاجتنبوه
“Jika aku perintahkan kepada kalian, maka
kerjakanlah semampu kalian, dan apa yang aku larang maka jauhilah” yakni apapun yang diperintahkan
Rasul kepada kita maka kerjakanlah semampu kita, dan apa yang beliau larang
maka tinggalkan/jauhilah, karena sebenarnya beliau hanya memerintahkan kebaikan
dan melarang keburukan .[6]
Term أتاكم
diatas Para Ulama’ tafsir berbeda pendapat
dalam penafsirannya, Dalam tafsir al-Misbah dan Ibnu Katsir menafsirkannya
dengan أمركم
(Perintah). Berbeda dengan tafsir Munir yang menafsirkan
dengan أعطاكم
(Pemberian). [7]
إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا
تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ
كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah
adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya terdapat empat bulan haram. Itulah agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya dan perangilah orang-orang
musyrik semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya; dan
ketahuilah
bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
Ayat di atas menjelaskan tentang 4 bulan yang dimuliakan
Allah yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah,
Muharram, dan Rajab.
Dalam ayat di atas penulis mengambil keterangan tentang
puasa sunnah dari potongan ayat فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
dengan penjelasan bahwa kita tidak boleh
menganiaya diri sendiri pada bulan-bulan yang telah penulis terangkan di atas. Larangan
menganiaya atau melakukan dosa pada keempat bulan itu bukan berarti pada
bulan-bulan sisanya dosa dapat dilakukan. Namun Yang dimaksud adalah penekanan
khusus pada keempat bulan itu karena ia merupakan bulan-bulan ibadah lagi agung
di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, beribadah pada bulan-bulan tersebut
berdampak positif dan mengundang banyak pahala layaknya puasa sunnah yang
penulis bahas dalam makalah ini, demikian pula sebaliknya berdosa mengakibatkan
murka yang besar.[8]
Menurut al-Razi dalam
kitabnya Mafatih al-Ghaib kata Hurum diartikan
sebagai bulan-bulan yang didalamnya terdapat pahala yang lebih besar jika kita
melakukan kebaikan / ketaatan, namun sebaliknya akan lebih besar dosa yang didapat
jika kita melakukan kemaksiatan pada bulan-bulan tersebut.[9]
Macam-macam
Puasa Sunnah:
1.
Puasa Hari Senin dan Kamis
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ ، قَالَ : " ذَاكَ يَوْمٌ
وُلِدْتُ فِيهِ ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a., bahwasanya Rasulullah
SAW pernah ditanya mengenai
puasa pada hari Senin, lalu beliau bersabda, “Pada hari itu aku dilahirkan dan
pada hari itu ditutunkan (wahyu) kepadaku”.[10]
عَنْ عَائِشَةَ ،
قَالَتْ : " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يتحرى صومَ
الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيس (رواه الترمذي)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a berkata
bahwasanya Nabi SAW memilih berpuasa pada hari senin dan kamis. (HR. At-Tirmidzi)[11]
2.
Puasa Ayyamul Bidl, Hari Arafah, dan Asyura
عن أبي قتادة رضي االله عنه قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلَاثٌ مِنْ كُلِّ شَهْر، وَرَمَضَانُ
إِلَى رَمَضَانَ، فَهَذَا صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ، صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ،
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
الَّتِي قَبْلَه.
Diriwayatkan
dari Abu Qatadah r.a Rasulullah SAW bersabda: Berpuasa tiga hari setiap bulan,
dan berpuasa dari Ramadhan ke Ramadhan
adalah sama dengan berpuasa setahun penuh. Berpuasa pada hari Arafah: Aku mohon
kepada Allah agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya dan dosa
setahun sesudahnya, sedangkan berpuasa pada hari Asyura, aku mohon kepada Allah
agar puasa tersebut bisa menghapus dosa setahun sebelumnya[12].
3.
Puasa Tasu’a
عَنِ الْحَكَمِ عن
الْأَعْرَجِ، قَالَ: انْتَهَيْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا وَهُوَ
مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِي زَمْزَمَ، فَقُلْتُ لَهُ أَخْبِرْنِي عَنْ صَوْمِ
عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ، وَأَصْبِحْ
يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا، قُلْتُ: هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، قَالَ: نَعَمْ.
Diriwayatkan dari al-Hakam, dari
al-A’raj, ia berkata: Aku pernah mendatangi Ibnu Abbas r.a ketika dia berbantal
selendangnya di Zamzam, lalu aku katakan kepadanya, “Beritahukan kepadaku
tentang puasa Asyura”! Dia menjawab “Apabila kamu telah melihat hilal di bulan
Muharram, maka hitunglah, lalu jalanilah puasa sejak shubuh pada tanggal 9”.
Aku tanyakan “Apakah Nabi Muhammad SAW berpuasa seperti itu?” Dia menjawab “Ya”[13].
4.
Puasa 6
Hari Bulan Syawal
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ
شَوّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدّهْر
Diriwayatkan
dari Abu Ayyub al-Anshari r.a bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: Barangsiapa
berpuasa Ramadhan, lalu disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka
(pahalanya) bagaikan puasa setahun penuh.[14]
5.
Puasa Bulan
Muharram
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ الصِّيَامِ
بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلَاةُ اللَّيْلِ
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda: Puasa yang
paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram, dan shalat yang
paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat di malam hari[15].
6.
Puasa Bulan Sya’ban
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عنها عَنْ صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَقَالَتْ: كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: قَدْ صَامَ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ:
قَدْ أَفْطَرَ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ
مِنْ شَعْبَانَ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا
قَلِيلًا (أخرجه البخاري)
Diriwayatkan
dari Abu Salamah, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah r.a tentang
puasa Rasulullah SAW, lalu dia menjawab “Rasulullah pernah berpuasa (Sunnah)
sehingga kami mengatakan bahwa beliau berpuasa, dan pernah tidak berpuasa
sehingga kami mengatakan bahwa beliau tidak berpuasa, dan aku tidak mengetahui
beliau berpuasa (Sunnah) di bulan-bulan lain yang lebih banyak daripada puasa
beliau di bulan Sya’ban. Beliau pernah berpuasa penuh di bulan Sya’ban, juga
pernah berpuasa di bulan Sya’ban tidak penuh.[16]
7.
Puasa
Rajab
أَخْبَرَنَا دَعْلَجٌ، ثنا مُوسَى بْنُ هَارُونَ،
وَابْنُ شِيرَوَيْهِ، قَالا: ثنا إِسْحَاقُ، أنبا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا عُثْمَانُ
بْنُ حَكِيمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ، فَقَالَ:
أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ " أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ
Mengabarkan kepada kami Da’laj, Musa
bin Harun, dan Ibnu Syirawaih, keduanya berkata: mengabarkan pada kami Ishaq,
Abdah bin Sulaiman, Utsman bin Hakim, berkata: aku bertanya kepada Sa’id bin
Jubair tentang puasa Rajab, Sa’id menjawab: Ibnu Abbas mengabarkan pada kami
bahwa Rasulullah SAW berpuasa pada bulan Rajab.[17]
8.
Puasa Daud
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ أَخْبَرَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ سَمِعْتُ عَطَاءً
أَنَّ أَبَا الْعَبَّاسِ الشَّاعِرَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنِّي أَسْرُدُ الصَّوْمَ وَأُصَلِّي اللَّيْلَ فَإِمَّا أَرْسَلَ إِلَيَّ
وَإِمَّا لَقِيتُهُ فَقَالَ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلَا تُفْطِرُ وَتُصَلِّي
فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ
وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا قَالَ إِنِّي لَأَقْوَى لِذَلِكَ قَالَ فَصُمْ صِيَامَ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ وَكَيْفَ قَالَ كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ
يَوْمًا وَلَا يَفِرُّ إِذَا لَاقَى قَالَ مَنْ لِي بِهَذِهِ يَا نَبِيَّ اللَّهِ
قَالَ عَطَاءٌ لَا أَدْرِي
كَيْفَ ذَكَرَ صِيَامَ الْأَبَدِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ مَرَّتَيْنِ
Telah
menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Ali telah mengabarkan kepada kami Abu
'Ashim dari Abu Juraij aku mendengar 'Atho' bahwa Abu Al 'Abbas Asy-Sya'ir
mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar 'Abdullah bin 'Amru radliallahu
'anhuma (berkata,); Telah sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berita tentang aku bahwa aku akan terus berpuasa dan shalat malam. Aku tak
ingat lagi, apakah kemudian beliau mengutus utusan atau aku menemui beliau, dan
Beliau berkata: "Apakah benar kabar bahwa kamu akan berpuasa tidak akan
berbuka dan shalat malam (tanpa tidur)? Puasa dan berbukalah, shalat dan juga
tidurlah. Karena bagi matamu ada bagian hak atasmu dan bagi dirimu dan
keluargamu ada bagian hak atasmu". 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma
berkata: "Sungguh aku lebih kuat dari (amal amal) itu". Beliau
berkata: "Kalau begitu puasalah dengan puasanya Nabi Daud
Alaihissalam". Dia bertanya: "Bagaimana caranya". Beliau
shallallahu 'alaihi wasallam menawab: "Nabi Daud 'Alaihissalam berpuasa
sehari dan berbuka sehari sehingga dia tidak akan kabur ketika berjumpa dengan
musuh". Dia berkata: "Lalu Siapa teladan bagi diriku dalam masalah
puasa sepanjang jaman ini wahai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Allah? 'Atho'
berkata: "Aku tidak tahu bagaimana dia menyebutkan puasa abadi (sepanjang
hidup), karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak dianggap
puasa bagi siapa yang puasa abadi". Beliau mengucapkannya dua kali.[18]
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai
umat Nabi Muhammad SAW, sudah seharusnya kita mengikuti ajaran-ajarannya,
terlebih apa yang telah dianjurkan dan dilakukan oleh Nabi, dalam makalah di
atas penulis telah memaparkan bahwa apa-apa yang datangnya dari Nabi, maka
sudah sepantasnya kita ikuti. Karena sesungguhnya beliau tidak akan memerintah
kecuali dalam hal kebaikan. Seperti puasa sunnah misalnya, beliau telah
menganjurkan beberapa puasa sunnah yang telah penulis paparkan di atas, di
antaranya berpuasa di bulan-bulan haram, seperti puasa Senin dan Kamis, puasa
hari Arafah, puasa Rajab, Puasa Muharram dan lain-lain. Jika kita melakukan
kebaikan seperti (puasa) di bulan-bulan haram maka akan lebih besar pahala yang akan kita dapatkan.
Demikianlah
penjelasan tentang puasa sunnah beserta dalil-dalil yang telah penulis sebutkan
dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat terhadap penulis
pribadi, serta bermanfaat terhadap orang lain, sehingga kita dapat meningkatkan
kualitas ibadah kita baik dalam bentuk ibadah fardhu maupun sunnah.
Begitu
pula penulis sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat
banyak kesalahan, maka dari itu penulis mengharap kritik dan saran serta
koreksi dari para pembaca. Wallahu A’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Nawawi al-Jawi, Muhammad. Tausyikh ala Ibn Qasim. Surabaya:
Imaratullah.
Al-Nawawi, Imam . 2002. Raudhah al-Thalibin .Beirut:
Dar Ibnu Hazm .
Al-Asqalani, Ibnu Hajr.
Bulugh al-Maram. Surabaya: Maktabah Dar al-Jawahir.
Shihab, M. Quraish. 2009.
Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Muhammad
al-Sheikh, Abdullah bin. 1994. Lubab
al-Tafsir min Ibnu Katsir. Kairo: Muassasah Dar al-Hilal .
Zuhaili, Wahbah. 2009.
Al-Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr.
Al-Mundziri, Imam. 2003.
Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Nawawi, Imam. 2007. Riyadh al-Shalihin. Beirut:
Dar Ibnu Katsir.
Fakhruddin, M. Al-Razi. 1981. Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih
al-Ghaib Juz.15. Beirut: Dar al-Fikr. Cet. 1.
Muhammad, Abu.
2010. Syarh Kitab al-Shaum min Shahih
al-Bukhari. Maktabah al- Ulum wa al-Hikam. Cet. 1
[4] Ibnu Hajr
al-Asqalani,,, Hal. 143
[6] Abdullah bin Muhammad al-Sheikh, Lubab al-Tafsir min Ibnu
Katsir, (Kairo: Muassasah Dar al-Hilal, 1994), Jilid 8, Cet. 1, Hal 110.
[9] M. Al-Razi Fakhruddin, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib
Juz.16, (Beirut: Dar al-Fikr,1981), Cet. 1, Hal. 53
[17]http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=637&hid=592&pid=32527
[18] Abu Muhammad, Syarh Kitab al-Shaum min Shahih al-Bukhari, (Maktabah
al- Ulum wa al-Hikam, 2010), cet.1, Hal. 181.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar