Tafsir
Mafatih Al-Ghaib Surat Al-A’raf 34 & Al-Hijr 4-5
“Kehancuran Bangsa-Bangsa”
Oleh:
Farid Muhlasol
M Syukron Ali Habibi
PEMBUKAAN
Al-Qur’an pada hakikatnya adalah kitab suci yang diturunkan Allah
kepada nabi Muhammad untuk manusia sebagai hudan li al nas dan sebagai kitab
penerang agar manusia bisa keluar dari kegelapan menuju kehidupan yang terang
benderang. Walaupun ditunrunkan di tengah-tengah bangsa Arab dan dengan bahasa
Arab, akan tetapi al-Qur’an ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Dengan keberadaan al-Qur’an ditengah-tengah umat Islam, maka
al-Qur’an dijadikan sebagai tolak ukur dan pembeda antara yang hak dan yang
bathil. Kemudian, bermunculan karya-karya tafsir yang mana bertujuan untuk
memahami isi kandungan yang ada di dalam al-Qur’an agar dapat menjawab
permasalahan umat manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa,
semakin luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir maka, para mufasir pun
mempunyai cara berfikir yang berbeda-beda pula.
Terlepas itu semua, maka tidak etis apabila kajian-kajianya terhadap
kitab-kitab tafsirnya terlewatkan. Dan perlu diketahui bahwa, sesungguhnya
kajian tersebut sangat bermanfaat untuk dikaji dan diteliti.
Terlebih dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib karya Al-Razy yang banyak
menekankan dimensi keluasan makna ayat Al-Quran dalam tafsirnya. Dengan tema
kehancuran bangsa-bangsa, kiat dapat mengambil pelajaran tentang sebab-sebab
kehancuran umat-umat terdahulu dan bagaimana mengambil ibrah dari kisah hidup
mereka.
Terakhir, sebelum memulai pokok bahasan makalah ini, pemakalah
mengajak kitsa sama-sama menghadiahkan surat Al-Fatihah bagi pengrang kitab.
Semoga dengan budi baik ini, menjadi asbab datangnya keberkahan ilmu bagi para
penuntut ilmu, Amin.
RUMUSAN MASALAH
1. Memahami kandungan ayat 34 surat Al-A’raf
2. Memahami Kandungan ayat 4 & 5 Surat
Al-Hijr
PEMBAHASAN I
“MASING-MASING
BANGSA MEMILIKI AKHIR”
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap
umat mempunyai ajal (batas
waktu). maka apabila ajalnya tiba, mereka
tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaatpun. (QS. Al-A’raf
: 34).
Beberapa ayat yang lalu telah mengisyaratkan bahwa ada dua kelompok
besar manusia, yaitu pertama yang memeroleh hidayah dan kedua yang jelas dan
terang kesesatannya. Yang sesat dikecam antara lain karena mempersekutukan
Allah dan mengada-ada secara terus-menerus atas nama-Nya. Ini menimbulkan
pertanyaan mengapa Allah tidak segera saja menjatuhkan adzab atas mereka? Oleh
sebab itu, ayat ini memberi penjelasan bahwa menyiapkan untuk mereka waktu
tertentu untuk menjatuhkan sanksi-Nya dan sebagaimana tiap-tiap orang akan mati
dan menerima sanksi dan ganjaran, untuk tiap-tiap umat juga mempunyai batas
waktu bagi usia dan jatuhnya sanksi itu; maka apabila telah datang batas waktu
yang ditetapkan untuk masing-masing mereka, maka ketika itu mereka sama sekali
tidak dapat mengundurkan kedatangannya walau sesaat pun, yakni sekejap pun dan
tidak dapat pula memajukannya.
Kata ummat/umat
terambil dari kata amma, yaummu yang
berarti “menuju”, menumpu, dan meneladani. Dari akar kata yang sama, lahir kata
umm yang berarti “ibu” dan imâm yang maknanya “pemimpin” karena keduanya
menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan. Sebagaimana kata Ibu yang
menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sementara dalam makna universal, umat adalah
sekelompok manusia yang memiliki kesamaan ikatan agama, masa, atau tempat. [1]
Dalam pemaknaan kata ‘umat’ pada ayat ini sebagaimana
rujukan makalah ini- yakni tafsir Al-Razy, menafsirkannya dengan makna
sekelompok individu atau bangsa. Secara garis besar, ayat ini menerangkan
tentang ketetapan Allah tentang masa hidup suatu bangsa di dunia.
Secara tegas, al-Qur’an dan hadits tidak membatasi
pengertian umat hanya pada kelompok manusia. Tiada satu burung pun yang terbang
dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS. al-An‘âm [6]:
38). Semut yang berkeliaran juga umat dari umat-umat Tuhan. Begitu sabda Nabi
Muhammad saw. menurut riwayat Imam Muslim.[2]
Kata ajal, diartikan sebagai waktu yang ditetapkan
Tuhan sebagai tanda habisnya penundaan (maut/adzab). Sementara Al-Razy
mengartikan ajal dengan kata ‘Al-Umru’ yang berarti usia,[3]
karena bagaimanapun segala sesuatu yang memiliki keterkaitan denga usia pasti
memiliki awal dan akhir. Dalam kaitannya dengan kata umat, maka ayat ini
menjadi penguat dalil tentang teori keberlangsungan suatu bangsa.[4]
Allah menjelaskan bahwasanya setiap sesuatu ada
ajal yang tertentu yang tidak bisa didahulukan dan juga diakhirkan. Di
sini dijelaskan bahwa tiap-tiap umat (bangsa) memiliki batas waktunya sendiri
sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Segala kehidupan di alam
nyata pasti memiliki batas waktu sendiri, dimana setiap makhluk diberi pilihan
dalam menjalani kehidupannya.
Sementara Al-Kasyaf mengerucutkan makna ayat ini sebagai suatu
ancaman kepada para kaum musyrik Mekkah. Dengan turunnya ayat ini- maka,
menurut Al-Kasyaf- mengingatkan kaum musyrik Mekkah akan kehancuran yang bisa
saja terjadi pada mereka sebagaimana kehancuran umat-umat terdahulu.[5]
Sa’ah digunakan karena kata ini merupakan kata yang sering digunakan manusia
untuk menyatakan satuan waktu. Dengan kata ini pula memberikan dimensi
penekanan akan ketegasan al-Quran dan sifat Allah SWT.- yakni al-Muntaqim yang
artinya, Yang Maha memberi Ancaman.
Kata Yastaqdimun dan Yasta’khirun keduanya adalah bentuk mudhari’ (present/future)
dengan tambahan sin yang mengandung makna ‘meminta’. Jadi makna Yastaqdimun adalah
‘usaha manusia guna mempercepat’ dan Yasta’khirun adalah ‘usaha manusia untuk
mempercepat’. Dengan ini Allah SWT menerangkan akan urusan ajal semata-mata ada
dalam kekuasaanNya.
PEMAHASAN II
“BUKTI KEADILAN ALLAH DI BALIK HANCURNYA BANGSA-BANGSA”
وَمَا أَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ
إِلَّا وَلَهَا كِتَابٌ مَعْلُومٌ . مَا
تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Dan Kami
tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang
telah ditetapkan. tidak ada suatu
umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan
(Nya).” (QS. Al-Hijr : 4-5).
Pada ayat-ayat sebelumnya
dijelaskan tentang penyesalan orang-orang kafir kelak di akhirat dan orientasi
keduniaan mereka. Kala mereka diseur pada kebenaran, mereka memperpanjang
angan-anag dan selalu menanyakan diatas keangkuhan mereka “Kapan ketetapan itu
akan datang?”. Ayat ini tentang bukti keadilan Tuhan dalam memberi hukuman bagi
hambanya yang ingkar dengan ketentuan yang jelas akan waktu turunnya hukuman
tersebut-guna memberikan peringatan agar muncl rasa takut di dalam hati mereka.
Kata أَهْلَكْنَا adalah bentuk mudhari dari kata dasar halaka yang artinya
menghancurkan. Namun pada ayat-ayat Al-Quran, ayat ini digunakan untuk menggmbarkan
hukuman Allah bagi para hambanya yang kufur. Dan pada awal ayat ini, Al-Hilak (kata jadian dari asal kata ahlaka) maksudnya adalah adalah waktu turunnya azab. Bagi umat
yang di segerakan baginya turunnya azab, maka memang sudah ditetapkan seperti
itu di dalam lauh
Mahfudz, dan begitu pula sebaliknya dengan umat yang di akhirkan bagi
mereka turunnya azab. Bagi Al-Razy, pengertian kata Al-Hilak (kebinasaan) dimaknai dengan adzab yang jatuh pada seluruh anggota suatu
kaum, dan bisa dimaknai pula dengan turunnya maut. Jadi menurut beliau, maksud
dari awal ayat ini adalah bagi setiap umat itu memiliki ketetapannya
masing-masing berkenaan dengan turunnya azab atas mereka yang mendustakan
ayat-ayatnya. Jadi ayat ini mengingatkan kembali penduduk Mekkah tentang
umat-uamt terdahulu akan bagaimana mereka dibinasakan, agar mereka merasa takut.
Selain mengartikannya dengan
azab, Ar-Razy mengartikan ‘kebinasaan’ sebagai Al-Maut (kematian). Namun bagi beliau lebih condong pada pendapat
yang lebih awal yakni ‘azab‘.
Namun, apabila dipahami lebih
dalam- maka ayat ini seakan-akan menjadi penjelas akan penundaan turunnya
adzab. Apakah demikian? Tidak. Justru dengan ayat ini memperjelas penekanan
akan turunnya azab. Selain dua pemaknaan diatas, beliau juga mengutip pendapat
ulama-ualam lain yang mengatakan bahwa Al-Hilak
adalah gabungan dua perkara-
Azab dan maut. Jadi sebagaimana umat-umat terdahulu terlebih dahulu diazab dan
kemudian di daatangkan bagi mereka kematian- sehingga tidak tersisa satu orang-pun
dari kaum tersebut melainkan cerita mereka saat hidup saja.
Dengan menentukan kapan
turunnya azab bagi suatu umat, bukan berarti Tuhan itu zalim. Karena sesungguhnya
azab Allah itu hanya turun kepada kaum yang telah diutus kepada mereka utusan Allah
yakni para rasul. Sebagaimana firman Allah
Dalam al-Quran,
banyak sekali diceritakan kisah-kisah umat terdahulu yang telah dibinasakan
oleh Allah karena mereka mengingkari utusan-Nya dan melakukan berbagai
penyimpangan yang telah dilarang. Berikut adalah kaum-kaum yang dibinasakan.
Kaum Nabi Nuh
Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun, namun
yang beriman hanyalah sekitar 80 orang. Kaumnya mendustakan dan memperolok-olok
Nabi Nuh. Lalu, Allah mendatangkan banjir yang besar, kemudian menenggelamkan
mereka yang ingkar, termasuk anak dan istri Nabi Nuh (QS Al-Ankabut : 14).
Kaum Nabi Hud
Nabi Hud diutus untuk kaum 'Ad. Mereka
mendustakan kenabian Nabi Hud. Allah lalu mendatangkan angin yang dahsyat
disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar hingga mereka tertimbun pasir dan
akhirnya binasa (QS Al-Taubah: 70, Al-Qamar: 18, Al-Fushshilat: 13, Al-Najm:
50, Qaaf: 13).
Kaum Nabi Saleh
Nabi Saleh diutuskan Allah kepada kaum Tsamud.
Nabi Saleh diberi sebuah mukjizat seekor unta betina yang keluar dari celah
batu. Namun, mereka membunuh unta betina tersebut sehingga Allah menimpakan
azab kepada mereka (QS Al-Hijr: 80, Hud: 68, Qaf: 12).
Kaum Nabi Luth
Umat Nabi Luth terkenal dengan perbuatan
menyimpang, yaitu hanya mau menikah dengan pasangan sesama jenis (homoseksual
dan lesbian). Kendati sudah diberi peringatan, mereka tak mau bertobat. Allah
akhirnya memberikan azab kepada mereka berupa gempa bumi yang dahsyat disertai
angin kencang dan hujan batu sehingga hancurlah rumah-rumah mereka. Dan, kaum
Nabi Luth ini akhirnya tertimbun di bawah reruntuhan rumah mereka sendiri (QS
Al-Syu'araa: 160, Al-Naml: 54, Al-Hijr: 67, Al-Furqan: 38, dan Qaf: 12).
Kaum Nabi Syuaib
Nabi Syuaib diutuskan kepada kaum Madyan. Kaum
Madyan ini dihancurkan oleh Allah karena mereka suka melakukan penipuan dan
kecurangan dalam perdagangan. Bila membeli, mereka minta dilebihkan dan bila
menjual selalu mengurangi. Allah pun mengazab mereka berupa hawa panas yang
teramat sangat. Kendati mereka berlindung di tempat yang teduh, hal itu tak
mampu melepaskan rasa panas. Akhirnya, mereka binasa (QS Al-Taubah: 70, Al-Hijr:
78, Thaha: 40, dan Al-Hajj: 44).
Selain kepada kaum Madyan, Nabi Syuaib juga
diutus kepada penduduk Aikah. Mereka menyembah sebidang padang tanah yang
pepohonannya sangat rimbun. Kaum ini menurut sebagian ahli tafsir disebut pula
dengan penyembah hutan lebat (Aikah). (QS Al-Hijr: 78, Al-Syu'araa: 176,
Shaad: 13, Qaaf: 14).
Firaun
Kaum Bani Israil sering ditindas oleh Firaun.
Allah mengutus Nabi Musa dan Harun untuk memperingatkan Firaun akan azab Allah.
Namun, Firaun malah mengaku sebagai tuhan. Ia akhirnya tewas di Laut Merah dan
jasadnya berhasil diselamatkan. Hingga kini masih bisa disaksikan di museum
mumi di Mesir (QS. Al-Baqarah: 50 dan Yunus: 92).
Ashab Al-Sabt
Mereka adalah segolongan fasik yang tinggal di
Kota Eliah, Elat (Palestina). Mereka melanggar perintah Allah untuk beribadah
pada hari Sabtu. Allah menguji mereka dengan memberikan ikan yang banyak pada
hari Sabtu dan tidak ada ikan pada hari lainnya. Mereka meminta rasul Allah
untuk mengalihkan ibadah pada hari lain, selain Sabtu. Mereka akhirnya
dibinasakan dengan dilaknat Allah menjadi kera yang hina (QS Al-Araf: 163).
Ashab Al-Rass
Rass adalah nama sebuah telaga yang kering
airnya. Nama Al-Rass ditujukan pada suatu kaum. Nabi yang diutus kepada
mereka adalah Nabi Saleh. Namun, ada pula yang menyebutkan Nabi Syuaib. Mereka
menyembah patung. Ada pula yang menyebutkan, pelanggaran yang mereka lakukan
karena mencampakkan utusan yang dikirim kepada mereka ke dalam sumur sehingga
mereka dibinasakan Allah (QS. Al-Furqan : 38, dan Qaf : 12).
Ashab Al-Ukhdudd
Ashab Al-Ukhdud adalah sebuah kaum yang
menggali parit dan menolak beriman kepada Allah, termasuk rajanya. Sementara
itu, sekelompok orang yang beriman diceburkan ke dalam parit yang telah
dibakar, termasuk seorang wanita yanga tengah menggendong seorang bayi. Mereka
dikutuk oleh Allah SWT (QS. Al-Buruj: 4-9).
Ashab Al-Qaryah
Menurut sebagian ahli tafsir, Ashab Al-Qaryah
(suatu negeri) adalah penduduk Anthakiyah. Mereka mendustakan rasul-rasul yang
diutus kepada mereka. Allah membinasakan mereka dengan sebuah suara yang sangat
keras (QS Yaasiin: 13).
Kaum Tubba'
Tubaa' adalah nama seorang raja bangsa Himyar yang
beriman. Namun, kaumnya sangat ingkar kepada Allah hingga melampaui batas.
Maka, Allah menimpakan azab kepada mereka hingga binasa. Peradaban mereka
sangat maju. Salah satunya adalah bendungan air (QS Al-Dukhan: 37).
Kaum Saba
Mereka diberi berbagai kenikmatan berupa
kebun-kebun yang ditumbuhi pepohonan untuk kemakmuran rakyat Saba. Karena
mereka enggan beribadah kepada Allah walau sudah diperingatkan oleh Nabi
Sulaiman, akhirnya Allah menghancurkan bendungan Ma'rib dengan banjir besar (Al-Arim).
(QS Saba: 15-19).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah : Pesan Kesan dan
Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2009).
2.
Al-Razy, Fachruddin. Tafsir Mafatih Al-Ghaib. (Dar
Al-Fikr: Beirut, 1981)
3.
Al-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar. Al-Kasyaf,
(Maktabah Ubay Khan-Riyadh, 1998).
[1] Raghib
Al-Asfahani, Al-Mufrodat fi Gharibil Qur’an, (Kairo: Dar Ibnu Jauzi, 2012).
Hal: 26.
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian Al-Quran,
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), Vol. 3, Hal. 95
[4] Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori
tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi
lima tahap, yaitu:
1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana
otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil
menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat
sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang
mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang
ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan
untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah
dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada
tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para
pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa
menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada
tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Lihat: Ibnu Khaldun, Mukaddimah
Ibnu Khaldun, terj, Masturi Irham dkk, (Pustaka Al-Kautsar: Jakarta,
2011). Hal: 175.
[5] Abu al-Qasim Mahmud bin Umar
al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf, (Maktabah Ubay Khan-Riyadh, 1998) Juz 2, Hal. 440
Tidak ada komentar:
Posting Komentar