Tafsir
Maudlu’i ‘Aqidah ayat 142-152
Oleh: Farid Muhlasol
Sejarah Perpindahan
arah kiblat dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha
سَيَقُولُ
السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا
قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Orang – orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: '
Apakah yang memalingkan mereka (umat islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang
dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? Katakanlah (Muhammad): kepunyaan
alloh-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendakinya kejalan yang lurus .
السفهاء
merupakan berasal dari kata السفه yang
berarti keburukan / kebodohan suatu akal, pikiran, dan akhlak, yakni orang-orang kurang
pikirannya sehingga tidak dapat memahami maksud dari pemindahan kiblat. Ada
yang mengatakan, bahwa yang dimaksud sufaha’ disini adalah orang-orang musyrik
arab. Demikian dikemukakan al-Zajaaj. Ada
juga yang mengatakan, ‘’para pendeta yahudi’’ demikian kata Mujahid. Sedangkan
al-Sudi
mengemukakan, ‘’yang dimaksudkan adalah orang – orang munafik.’’
Pada ayat ini berbicara tentang kiblat dimana Rasulullah SAW dan
kaum muslimin solat selama di Makkah menghadap kearah masjidil haram (ka’bah),
akan tetapi setelah hijrah ke madinah beliau mengarah ke Baitul Maqdis
(palestina), dengan tujuan agar bisa
mengambil hati kaum yahudi/Bani Israil kiranya dengan kiblat yang sama orang
Bani Israil bisa memeluk Islam, akan tetapi malah orang Bani Israil memusuhi
nabi, demikian keterangan dalam tafsir al-Thabari. penjelasan dalam al-Thabari
ada yang mengatakan belum tentu benar, dikarenakan pada waktu Rasulullah
beralih kiblat dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis, saat itu diKa’bah masih
banyak berhala-berhala dan kaum Musyrikin mengagungkan berhala-berhala
disekitar Ka’bah.
Dalam hadits Shohih Bukhori dijelaskan tentang Sejarah pemindahan
arah kiblat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho sebagai berikut:
عَنِ
الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله
عليه وسلم كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ
الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنَ الأَنْصَارِ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ
يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ
صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى
مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ
لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا
كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ
يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى
وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ . قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو
إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ
قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُم
Dari Barra' bahwa Rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah
tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu
Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16
atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah)
sebagai kiblatnya. Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan
menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah.
Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi
melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul
Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat
bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan
segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli
kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap
Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela
perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits
ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul
Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah.
Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat,
"Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)
Mengenai Rasulullah
lamanya shalat menghadap Baitul Maqdis, menurut pendapat Ibnu Abbas dan Barra’
bin Azib 17 bulan sedangkan menurut
Qatadah 16 bulan.
Islam yang Moderat
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ
كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ
Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat
islam) ‘’umat pertengahan’’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi atas perbuatan kamu, kami tidak menjadikan
kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar kamu mengetahui
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh,
(pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah.
Umat islam dijadikan umat pertengahan (moderat), yakni umat yang
adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang
menyimpang dari kebenaran, baik didunia maupun diakhirat. dan dalam terjemah
tafsir Ibnu Katsir kata Wasath yang dimaksud disini adalah umat yang terbaik,
ketika Allah menjadikan umat ini sebagai ummatan wasathon, maka Dia memberikan
kekhususan kepadanya dengan syariat yang paling sempurna, serta jalan yang
lurus.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Hajj 87:
هُوَ
اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ
إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ
شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan
kesukaran untukmu dalam agama. Ikutilah agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia
(Allah) telah menamakan kamu orang-orang Muslim sejak dahulu, dan begitu pula
dalam al-Quran ini, agar rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan
agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.
Allah SWT tidaklah mensyari’atkan menghadap ke Baitul Maqdis
melainkan agar diketahui dan diujinya siapa yang mengikuti Rasulullah SAW,
beriman kepadanya dan mengikuti beliau dalam semua keadaan dengan orang yang
malah berbalik, seperti halnya seorang Guru yang mengerti tentang ketidak
lulusan seoarang siswa, tetapi untuk dijadikan sebuah bukti dalam dunia
pengetahuan maka sang guru harus mengujinya sehingga diketahui ketidak lulusan
siswa tersebut. Disamping itu, kitab- kitab terdahulu mengabarkan bahwa ia
akan menghadap ke ka’bah. Oleh karena itu, sebagai orang yang sadar, dimana
tujuannya adalah mengejar yang hak akan bertambah iman dan keta’atannya kepada
Rasulullah SAW. Sebaliknya orang yang malah berbalik, berpaling dari kebenaran
dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia akan bertambah kufur dan kufur.
Zuhair berkata,
Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang
telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang
terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana
hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat...
وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh,
Allah maha pengasih, maha penyayang kepada manusia.
تحويل
القبلة (Memindahkan
Qiblat)
قَدْ
نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Kami melihat
wajahmu (muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan kami palingkan engkau
ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjid
al-Haram. Dan dimana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan
sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab (Taurat-Injil)tahu, bahwa pemindahan
kiblat itu adalah kebenaran dari tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap
apa yang mereka kerjakan.
قد dalam tafsir munir dijelaskan dengan
arti كثرة
الرؤية (sering melihat) dimana saat itu Rasulullah
(penuh harap) sering menengadah ke langit melalui ayat ini Allah menyampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW, bahawa Allah mengetahui keinginan dan do’a nabi agar
kiblat segera pindah ke Makkah, dan Allah mengabulkan dengan menyatakan dalam
firmannya: sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, dan
sekarang palingkanlah wajahmu ke arah Masjid Al-Haram.
Golongan
kaum Suffiyun menanggapi pada ayat ini dalam term ‘’mengalihkan wajah’’ bukan
hati dan pikiran yang dialihkan, dikarenakan hati termasuk sesuatu yang Ghaib
maka mengalihkannya kepada Allah SWT, berbeda dengan wajah yang merupakan
sesuatu yang nyata yang bisa dialihkan ke bangunan berbentuk kubus yakni Ka’bah
Masjid al-Haram.
وَحَيْثُ
مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ redaksi pengagalan dalam ayat ini tidak hanya ditujukan
kepada nabi Muhammad SAW, melainkan ditujukan kepada semua manusia tanpa
kecuali ketika menjalankan ibadah Shalat dengan memalingkan wajah kearah kiblat
(ka’bah) Masjid al-Haram di segala penjuru, baik timur maupun barat, utara
maupun selatan.
وَإِنَّ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab (Taurat-Injil)tahu,
bahwa pemindahan kiblat itu adalah kebenaran dari tuhan mereka.
وَلَئِنْ
أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا
أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ
اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ
الظَّالِمِينَ
Dan walaupun engkau (Muhammad) memberikan semua ayat
(keterangan) kepada orang-orang yang diberi kitab itu, mereka tidak akan
mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Sebagian
mereka tidak akan mengikuti kiblat yang lain. Dan jika engkau mengikuti
keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu, niscaya engkau termasuk
orang-orang dzalim.
Ayat ini mengandung dua kali perandaian yang disebabkan keras
kepalanya orang yahudi, yang pertama, seandainya Rasulullah SAW mengemukakan
semua dalil tentang kebenaran yang beliau bawa, niscaya mereka tidak akan
mengikuti kiblatmu dan engkau tidak akan mengikuti mereka, bahkan mereka tidak
mengikuti kiblat manapun dan dimanapun, dikarenakan mereka keras kepala dan iri
hati, sebagaimana firman Allah dalam Surat Yunus ayat 96-97:
إِنَّ الَّذِينَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ
كَلِمَتُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ وَلَوْ جَاءَتْهُمْ كُلُّ آيَةٍ حَتَّى يَرَوُا
الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti
terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam
keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.
Yang kedua, seandainya engkau mengikuti keinginan nafsu
orang-orang Yahudi dan Nasrani, apalagi setelah mengetahui kebenarannya, maka
engkau dinilai sebagai orang-orang yang dzalim
Kebenaran Nabi yang
disembunyikan Ahlul Kitab
الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا
مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang yang telah kami beri kitab (Taurat dan
Injil) mengenalnya (Muhammad SAW) seperti mereka mengenal anak-anak mereka
sendiri. Dan sesungguhnya sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran,
padahal mereka mengerti.
ليكتمون الحق dalam tafsir
al-Thabari Abu Ja’far mengatakan kebenaran merupakan sebuah kiblat yang dijadikan Allah
bagi Nabi Muhammad namun mereka merahasiakannya, disamping itu identitas Nabi
Muhammad juga mereka rahasiakan, bagai sebuah perumpamaan bahwa pengetahuan yang
mereka dapatkan dalam kitab suci mereka tentang pengenalan Nabi Muhammad SAW
begitu kuat dan jelas seperti halnya pengetahuan mereka tentang anaknya sendiri
akan tetapi mereka malah menyembunyikan kebenarannya.
Allah SWT memberitahukan bahwa orang-orang yang berilmu
dari kalangan Ahlul Kitab mengetahui tentang kebenaran yang dibawa Rasulullah
SAW, sebagaimana salah seorang diantara mereka mengetahui dan mengenal
anak-anak mereka sendiri. Akan tetapi mereka masih juga menyembunyikan
sifat-sifat Nabi SAW yang terdapat dalam kitab mereka
الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu dari tuhanmu, maka janganlah sekali-kali
engkau (muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.
الحق
(kebenaran) yang diberitahukan Allah tentang arah kiblat kepadamu (Muhammad)
bukanlah yang diucapkan oleh orang Yahudi/Nashrani, melainkan itulah kiblat
yang benar yang dulu menjadi kiblat Nabi Ibrahim AS, oleh karenA itu, janganlah
engkau ragu karena kiblatmu adalah kiblat Nabi-nabi Allah sebelummu.
Berlombah-lombah
dalam kebaikan
وَلِكُلٍّ
وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ
بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap
kepadanya. Maka berlombah-lombahlah kamu dalam kebaikan. Dimana saja kamu
berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya, sungguh, Allah maha kuasa
atas segala sesuatu.
Secara global makna ayat ini dapat dirinci sebagai
berikut:
Setipa umat mempunyai kiblatnya sendiri dalam
shalatnya, sesuai dengan kecenderungan /keyakinan masing-masing, seperti halnya
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang menghadap ke ka’bah, Bani Israil yang
menghadap ke Bait al-Maqdis, dan orang muslim umat Muhammad menghadap ke
ka’bah. Meskipun terjadi perbedaan tentang arah kiblat, tapi masing-masing bertujuan
mencapai ridla Allah SWT dan melakukan kebajikan.
استبقوالخيرات dalam tafsir al-Thabari berasal dari kata الاستباق (bergegas) /
bergegaslah dalam melakukan kebaikan. Waktu yang diberikan Allah kepada Manusia
sungguh amat berharga, oleh karena itu gunakanlah waktu yang Allah berikan
kepada kita dengan ikhlas dan ridlo menjalankan semua yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi semua larangannya.
أَيْنَ
مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا kita
hidup didunuia janganlah berselisih dikarenakan kita semua pasti akan menjumpai
kematian, dimanapun kita berada pasti Allah akan mengumpulkan kita pada hari
kiamat.
Kebenaran arah Kiblat dan CCTV
Allah
وَمِنْ
حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah
wajahmu kearah Masjidil Haram, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari
tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.
Dari tempat manapun kalian berada, maka palingkanlah wajahmu
ketika Shalat ke arah Ka’bah, Masjidil Haram. Dan ini merupakan ketetapan dari
Allah SWT. Allah SWT sekali-kali tidak lengah/lupa terhadap apa yang kamu
kerjakan dan dia mencatat serta memberikan pahala dan siksaan di hari kiamat.
Pada redaksi ini Allah juga menjelaskan dalam Surat al-Zalzalah ‘’Barang siapa
mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya, dan
barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah niscaya dia akan melihat balasannya’’
dan ingat disamping kanan kiri kita ada CCTV Allah yang selalu memantau dan
mencatan kebaikan dan keburukan yang dilakukan, yakni Raqib dan Atid.
وَمِنْ
حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ
فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا
الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي
عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu
kearah Masjidil Haram, dan dimana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu
kearah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali
orang-orang yang dzalim diantara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepadaku, agar aku sempurnakan nikmatku kepadamu, dan agar kamu
mendapat petunjuk.
Pengulangan perintah menghadap ka’bah disini terjadi
tiga kali, para Ulama’ berbeda pendapat mengenai tiga kali pengulangan. Ada
yang mengatakan perintah itu mengandung beberapa kondisi. Pertama, ditujukan
kepada orang-orang yang menyaksikan ka’bah secara langsung, kedua, bagi
orang-orang di makkah tapi tidak menyaksikan ka’bah secara langsung, ketiga,
bagi orang-orang yang berada di negara lain. Demikian pendapat Fakhrur Razi.
Sedangkan pendapat yang Rajih (kuat) menurut
al-Qurthuby, yang pertama, ditujukan kepada orang-orang di Makkah, yang kedua,
ditujukan kepada orang dinegara lain, dan yang ketiga, bagi orang yang
melakukan perjalanan.
Ketetapan arah kiblat kapan dan dimanapun merupakan
agar tidak ada hujjah manusia atas kamu / agar Ahlul Kitab tidak ada yang mengejek
dan mengkritik kamu. Kecuali orang-orang dzalim / Ahlul Kitab yang keras kepala
dan menyembunyikan kebenaran, tapi janganlah takut Allah akan menyertaimu dalam
perlindungannya.
Kenikmatan atas diutusnya Rasulullah SAW
كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ
وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul
(Muhammad ) dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat kami, mensucikan kamu,
dan mengajarkan kepada kamu kitab (Alquran) dan hikmah (sunnah) serta
mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.
Allah mengingatkan kepada orang-orang beriman akan
nikmat yang Allah karuniakan kepada mereka, yakni dengan diutusnya Nabi
Muhammad SAW untuk menyempurnakan akhlaq dimuka bumi ini, coba kita renungkan
umpama tiada Nabi yang diutus untuk umat ini, pasti semuanya kembali lagi
seperti zaman jahilia yang kehidupannya penuh dengan kemusyrikan dan
keterpurukan.
Pada ayat ini juga mengingatkan kepada kaum muslimin bahwa
kebijakan Rasulullah SAW tentang arah kiblah itu tidak kliru dan bahkan Allah merestuinya,
dikarenakan Allah mengutus Nabi untuk mengajarkan al-Hikmah yakni Sunnah Rasul
baik bentuk perkataan, perbuatan maupun pembenaran yang dilakukan manusia.
Ayat ini juga merupakan bukti dari dikabulkannya do’a Nabi Ibrahim
as. Yang dipanjatkan ketika beliau bersama putranya Isma’il as. Membangun
Ka’bah. Permohonan Nabi Ibrahim dalam surat al-Baqarah 129 yang berbunyi:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ
أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Tuhan kami! Utuslah untuk mereka seorang Rasul dari
kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitâb dan al-Hikmah serta menyucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana” (QS. al-Baqarah
[2]: 129.
Seruan Dzikir dan Syukur
فَاذْكُرُونِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula)
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku.
Allah menyerukan kepada kita untuk selalu mengingatnya, niscaya
Allah akan ingat kepadamu, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa ‘’Ingatnya Allah SWT kepada kalian itu lebih besar dari pada ingatnya
kalian kepadanya’’, dan dalam Surat al-Anfal Allah menjelaskan devinisi Mukmin yang
ketika disebut asma Allah gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayatnya
bertambah kuat imannya. Oleh karena itu, kita sebagai umat Muhammad dalam
setiap nafas jangan sampai putus dari dzikir kepada Allah, dzikir menyebabkan
hati kita tenang, الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ
اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Dan yang terakhir Allah menyerukan agar hambanya untuk bersyukur
atas nikmat yang Allah berikan dan atas rasa syukur itu Allah memberikan
tambahan kebaikan kepada hambanya. Sebagaimana diterangkan dalam Surat Ibrahim
ayat 7 sebagai berikut:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar