Oleh:
Farid Muhlasol
Mohammad Amri Rosyadi
Umair Abdul Aziz
PENDAHULUAN
Dalam hal ini Nabi Muhammad saw sendiri adalah orang pertama yang
menjelaskan Al-Quran. Penafsiran Nabi Muhammad saw ini adakalanya dengan sunnah
Qauliyah, ataupun dengan sunnah Taqrįriyah. Tetapi tafsir yang diterima dari
Rasulullah, sedikit sekali. Dan para sahabat adalah orang-orang yang menjadi
generasi penerusnya. Mereka menafsirkan Al-Quran secara nukilan atau riwayat
dari seorang perawi kepada perawi lain. Generasi berikutnya adalah para
tabi’įn, tabi’it tabi’įn dan generasi yang hidup sesudahnya.
Untuk menafsirkan al-Quran diperlukan sebuah metode atau manhaj dan
aturan-aturan yang telah ditentukan oleh para mufassir. Metode penafsiran
al-Qur’ān terus mengalami perkembangan. Pada masa klasik hanya dikenal dua
metode, yaitu metode bil-ma'tsur (riwayat) dan bil-ra’yi (nalar). Pada periode
kontemporer metode penafsiran al-Quran mengalami perkembangan, yaitu
metode tahlilį, ijmalį, muqaran dan maudhu’į. Metode merupakan gabungan alat
perangkat sistem (strategi, pendekatan dan teknik).
Dalam makalah ini, penulis akan mengeksplorasi kitab tafsir Mafatih
Al-Ghaib karya Fakhuddīn Ar-Razi. Kitab yang ditulis pada abad 6 H. Kitab ini
dijadikan referensi hampir oleh para ahli tafsir (mufassir) periode berikutnya.
PEMBAHASAN
Biografi Penulis
1.
Nama,
Lahir, dan Wafat
Beliau adalah Abu 'Abdullah, Muhammad bin 'Umar bin al-Husein bin
al-Hasan bin 'Ali al-Tamimi al-Bakri al-Thibristan al-Razi. Beliau mempunyai
julukan Fakhruddin.[1] Nasab beliau memiliki garis keturunan sampai Abu Bakar al-Shiddiq
ra. Dan sampai dengan saat ini, beliau lebih dikenal dengan nama Fakhruddin
al-Rozi. Beliau lahir di daerah bernama Ray, Thibristan pada 25 Ramadhan 543 H
pendapat lain pada tahun 544 H atau 1150 M.[2] Tetapi jika menurut fakta yang ditulis oleh Ali al-'Umari—seperti
yang dikutip oleh Djaya Cahyadi dalam skripsinya—bahwa Fakhruddin al-Razi
menyatkan ia menulis tafsir Surat Yusuf di umur 57 tahun dan di akhir surat
beliau menyebutkan bahwa tafsir ini selalasi pada bulan Sya'ban 601 H. jika
tahun tersebut dikurangi dengan umur beliau waktu itu maka akan ketemu tahun
kelahiran beliau yakni 544 H.[3]
Dalam Fiqh (ibadah dan muamalah) beliau bermadzhab Syafi'i sedangkan
dalam akidah beliau penganut madzhab Asy'ari.[4] Istilah al-Rozi merupakan penisbatan kepada tanah kelahirannya.
Setiap Ulama yang lahir di Ray, mendapatkan gelar al-Rozi. Jadi bukan hanya
syekh Fakhruddin saja yang mendapatkan gelar ini, contoh yang lain yakni
seperti Abu Bakar bin Muhammad bin Zakaria al-Rozi[5]. Dengan demikian, ketika disebut al-Rozi tidak mesti merujuk ke
Syekh Fakhruddin.[6]
Fakhruddin Al-Rozi wafat di Herat pada tahun 606 H, tepat pada
perayaan Idul Fitri. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kematian
beliau disebabkan karena adanya perbedaan yang sangat jauh antara beliau dengan
aliran Karamiyah dalam perdebatan masalah akidah, Husein al-Dzahabi juga
menyebutkan bahwa perdebatan itu sampai menyebabkan keduanya saling mencaci dan
mengkafirkan sehingga salah satu dari mereka meracuni Fakruddin al-Razi dan
akhirnya beliau meniggal.[7]
2.
Rihlah
Ilmiyah
Sejak kecil beliau sudah di didik secara khusus oleh Ayahnya
sendiri, yakni Dliyauddin 'Umar bin al-Husen, yang lebih dikenal dengan Khotib
al-Ray, seorang pemuka Agama yang fokus dalam bidang Kalam dengan kitabnya
yakni Ghayah al-Maram dan juga ahli dalam bidang fiqih dan ushul fiqh.[8] Beliau belajar kepada ayahnya sampai ayahnya meninggal, saat itu
Syekh Fakhruddin berumur 15 tahun. Dan dimulai saat itulah beliau mengembara ke
daerah yang lain.
Perjalanan pertamanya, dimulai dari daerah Simnan, beliau disana
belajar fiqih kepada Imam al-Kamal al-Simnani. Setelah itu beliau kembali ke
Ray dan belajar kepada Syekh al-Majd al-Jalili yang merupakan salah satu murid
dari Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali, kepada Syekh al-Majd al-jaili beliau
belajar teolog dan filsafat.[9]
Kemudian beliau melanjutkan rihlahnya ke daerah Khawarizmi, yang
merupakan pusat pemikiran muktazilah dan banyak para ulama yang berpemikiran
muktazilah setelah belajar di Khawarizmi. Disinilah beliau banyak terlibat
diskusi dengan orang-orang muktazilah, khususnya dalam masalah akidah. Kemudian
beliau keluar dari Khawarizmi dan memutuskan pergi menuju Bukhara, lalu
dilanjutkan ke daerah Samarkand, Khajand dan kembali lagi ke Ray.
a.
Ayahnya
sendiri yakni, Dliyauddin 'Umar bin Husein. Dalam bidang ilmu Fiqih dan ilmu
kalam yang masing-masing sanadnya sambung kepada Imam Syafi'I dan Imam Asy'ari.
b.
Imam
al-Kamal al-Sim'ani
c.
Al-Majdi
al-Jaili dalam bidang teologi dan filsafat.
d.
Abi
Muhammad al-Baghawi dalam bidang hadist.
Murid-murid Fakhruddin al-Rozi, antara lain:
a.
Ibrahim
bin 'Ali bin Muhammad al-Quthbi al-Sulami yang terkenal dengan Quthbi
al-Mishri.
b.
Ahmad
bin Kholil bin 'Isa, terkenal dengan sebutan Syamsuddin.
c.
Abu
al-'Abbas al-Hayy
d.
Ibrahim
bin Abu Bakar bin 'Alai al-Ashfihani
e.
Syarifuddin
bin 'Unain
Karya-karya
beliau sangat banyak sekali, dengan kedalaman dan keluasan dalam berbagai fan
ilmu tidak mengherankan jika beliau dijuluki "Ulama Ensiklopedis"[11]. Para Ulama sendiri berbeda pendapat tentang jumlah buku yang
sudah dikarang oleh beliau. Menurut Abdul Hali Mahmud, karangan beliau bisa
mencapai 200 buku. Pendapat lain dari Abdul Aziz Majdub, karangan beliau
ditemukan ada 97 buku.[12]
Selain
kitab tafsir Mafatih al-Ghaib, berikut karya-karya beliau yang dapat ditemukan
sampai saat ini antara lain: dalam bidang Tafsir ada Al-Tafsir Surat
al-Fatihah; dalam bidang ilmu Kalam ada, al-Mathalib al-'Aliyah
min 'Ilmi al-Ilahi, Asas al-Taqdis al-'Arba'in fi Ushul al-Din, dan
Muhasshal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhirin min 'Ulama wa al-Hukama' wa
al-Mutakallimin; dalam bidang Tasawuf ada Kitab Irsyad al-Nadzair ila
Lathaifi al-'Ashr dan Kitab Syarh al-'Uyun al-Hikmah; dalam bidang
Filsafat ada Kitab Lubab al-Isyarah; dalam bidang Sejarah ada Manaqib
al-Imam al-Syafi'I; dan dalam bidang Ushul Fiqh ada Al-Mahsul fi 'Ilm Usul
al-Fiqh.[13] Dalam bidang kedokteran, beliau juga menulis Syarh al-Kulliyat
li al-Qanun karya Ibnu Sina dan masih banyak lagi dari bidang astrologi dan
logika.[14]
3.
Pendapat
para Ulama tentang Penulis
Menurut al-Qufti, bahwa Fakhruddin al-Razi merupakan seorang yang
memiliki pemikiran yang tajam serta memiliki daya Analisa yang kuat. Sehingga
ia dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan.[15]
Sayyid Husein Nashr mengatakan bahwa, Fakhruddin al-Razi merupakan
seorang pemikir teologis dan cendekiawan yang telah mengembangkan beberapa
cabang ilmu pengetahuan. Dalam sejarah perkembangan pemikaran umat islam, tidak
banyak pemikir-pemikir islam yang menguasai berbagai disiplin ilmu seperti yang
dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi. Bahkan para teolog dari golongan Sunni atau
para fuqaha sering mengambil jarak dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan umum.
Menurut mereka ilmu pengetahuan tidak ada hubungan dengan masalah agama.[16]
Sekilas Tentang Tafsir Mafatih al-Ghaib
Tafsir Mafatih al-Ghaib juga dikenal dengan beberapa nama yakni Tafsir
al-Kabir dan Tafsir al-Rozi. Tafsir al-kabir ini merupakan tafsir dengan corak
bi al-ro'yi atau rasionalitas. Karya ini dianggap yang paling fenomenal
diantara tafsir bi al-ro'yi yang lain, karena penafsiran beliau unik, keluar
dari mainstream, yakni dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran dari
berbagai ilmu pengetahuan umum dengan tujuan mengungkap rahasia keagungan Tuhan
yang tersirat di seluruh alam. Hal ini terbukti dengan banyaknya para mufasir
sesudah al-Rozi yang mengutip pendapatnya.
Menurut sebagian Ulama berpendapat bahwa, Tafsir Mafatih al-Ghaib
tidak seratus persen karya Fakhruddin al-Razi. Karena beliau dianggap belum
menyelesaikan penafsiran tuntas 30 juz. Ada yang berpendapat beliau hanya
menafsirkan sampai surat al-Anbiya', ada juga yang menyebutkan beliau
menafsirkan sudah sampai surat al-Waqi'ah bahkan pendapat lain al-Bayyinah.
Berbeda lagi dengan apa yang dikatakan oleh al-'Umari yang
mengatakan bahwa beliau sudah menyelesaikan tafsirnya tuntas 30 juz. Tetapi, hilang
satu juz karena kekacauan yang terjadi di wilayah muslim, Khawarizmi dan
sekitarnya, disebabkan adanya serangan dari bangsa Tatar pada tahun 627 H, 11
tahun setelah kematian beliau.[17]
Dengan berbagai pendapat di atas, yang pasti kekurangan penafsiran
oleh beliau telah dilengkapi oleh Syihabuddin al-Khubi (w. 639 H/ 1241 M).
pendapat lain oleh Najmuddin al-Qamuli (w. 727 H/ 1326 M). Walaupun terjadi
perbedaan pendapat, para Ulama sepakat bahwa hampir tidak ditemukan perbedaan
alur penafsiran di dalamnya, semua rasanya sama seperti alur penafsiran
Fakhruddin al-Razi. Sehingga sulit sekali menentukan batas penulisan di antara
keduanya.[18]
1.
Pendapat
Para Ulama mengenai Tafsir Mafatih al-Ghaib
Seperti yang tertulis dalam buku Ensiklopedi kitab-kitab Tafsir,
seorang cendekiawan muslim yakni Muhsin Abd. Hamid berkomentar bahwa,
"Tidak diragukan lagi, al-Quran adalah kitab Hidayah. Di
dalamnya dijelaskan pokok-pokok ketuhanan, kehidupan dan kealaman. Al-Razi
telah memberika ulasan Panjang lebar berkaitan ketiga hubungan ini. Al-Razi
juga berhasil mengungkap rahasia di balik ayat yang tertulis dengan argumentasi
yang cukup logis dan rasionalis."
Berbeda dengan diatas, Ibnu Hayyan malah mengkritik habis dengan
mengatakan, "Fiihi kullu syai'in illa al-tafsir." (di dalamnya
terdapat segala sesuatu kecuali tafsir).[19] Pernyataan ini sangat menohok sekali, meskipun begitu kita sebagai
muslim harus berterima kasih kepada Fakhruddin al-Razi atas suguhan tafsirnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali pengetahuan yang telah diungkap dari
ayat-ayat al-Quran tersebut.
Dan perlu kita yakini, bahwa setiap mufassir mempunyai tujuan yang
sama yakni mengantarkan kepada suatu petunjuk yang terkandung dalam al-Quran.
Karena kita tidak tahu dari tafsir mana yang akan menuntun dan mengokohkan iman
kita.
Karakteristik Tafsir Mafatih al-Ghoib
Dalam tafsir ini, susunan penafsirannya dimulai dengan menyebutkan
nama surat, tempat turun, jumlah ayat dengan menyebutkan beberapa pendapat
mengenai hal terkait. Kemudian menyebutkan ayat disertai munasabahnya secara
singkat. Lalu Fakhruddin al-Razi memulai menjabarkan permasalahan-permasalahan
yang ada dalam ayat tersebut dari berbagai prespektif yang berkaitan, seperti
qiroatnya, gramatika bahasanya, Ushul fiqih, Kalam, ilmu eksak dan lain-lain.
Sebelum masuk ke pembahasan masalah beliau sering kali menuliskan وَفِي الْآيَةِ مَسَائِلُ atau وفيه مسائل (dalam ayat ini terdapat beberapa masalah).[20]
Dalam bidang fiqih Fakhruddin al-Razi selalu berusaha menjelaskan dari pendapat
para Madzahib al-Arba'ah, tapi ia tetap konsisten dengan madzhab Imam Syafi’i.
Sedangkan dalam bidang Teologi atau ilmu kalam, Fakhruddin al-Razi banyak mengungkapkan pemikiran yang
dikembangkan oleh Abu al-Hasan Al-Asy’ari, yaitu ketika membahas ayat-ayat yang
berkaitan tentang ketuhanan, bahkan beliau selalu berusaha menyangkal ide-ide sesat
pada waktu itu, seperti aliran Mu'tazilah, Karamiyah dan juga Syi'ah.[21]
Fakhruddin
al-Razi juga dalam tafsirnya menambahkan
dalil-dalil Israiliyat namun sangat sedikit sekali. Tujuan
beliau menulis ayat-ayat israiliyat dalam tafsirnya adalah untuk membantah dan
meluruskan kepada kisah yang sebenarnya. Tetapi terkadang dalam kitab ini dapat kita temuikan
penafsiran menggunakan riwayat israiliyat yang tidak masuk akal.
Contoh Penafsiran dalam Mafatih al Ghaib
1. Contoh penafsiran bi al-ra'yi oleh Fakhruddin al-Razi, yakni QS. Al-anbiya':
22
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
Seandainya pada keduanya (langit dan
bumi) ada Tuhan-Tuhan selain Allah, tetntu keduanya telah binasa. Mahasuci
Allah yang memiliki 'arsy dari apa yang mereka sifatkan
Di
ayat ini Fakhruddin al-Razi menjelaskan beberapa ketidakmungkinan jika alam ini
diatur oleh dua tuhan, salah satunya sebagai berikut.
.
وَرَابِعُهَا:
أَنَّ أَحَدَ الْإِلَهَيْنِ إِمَّا أَنْ يَكُونَ كَافِيًا فِي تَدْبِيرِ
الْعَالَمِ أَوْ لَا يَكُونَ فَإِنْ كَانَ كَافِيًا كَانَ الثَّانِي ضَائِعًا
غَيْرَ مُحْتَاجٍ إِلَيْهِ، وَذَلِكَ نَقْصٌ وَالنَّاقِصُ لَا يَكُونُ إِلَهًا.
Jika
ada dua Tuhan, dimana Tuhan yang satunya mampu mengurus alam, maka Dia tidak
perlu Tuhan lain. Justru hal itu menunjukkan bentuk kekurangan dari sifat
ketuhanan. Dan sesuatu yang kurang bukan merupakan sifat ketuhanan.
2.
Contoh
penafsiran ayat sosial tentang al-'adlu dan al-ihsan
pada QS. Al-Nahl: 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ..
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan",
المسألة
الثَّانِيَةُ: فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ، أَكْثَرَ النَّاسُ فِي تَفْسِيرِ
هَذِهِ الْآيَةِ
قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ الْعَدْلُ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ، وَالْإِحْسَانُ أَدَاءُ الْفَرَائِضِ وَقَالَ فِي رِوَايَةٍ
أُخْرَى: الْعَدْلُ خَلْعُ الْأَنْدَادِ وَالْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ فَإِنْ كَانَ
مُؤْمِنًا أَحْبَبْتَ أَنْ يَزْدَادَ إِيمَانًا، وَإِنْ كَانَ كَافِرًا أَحْبَبْتَ
أَنْ يَصِيرَ أَخَاكَ فِي الْإِسْلَامِ. وَقَالَ فِي رِوَايَةٍ ثَالِثَةٍ:
الْعَدْلُ هُوَ التَّوْحِيدُ وَالْإِحْسَانُ الْإِخْلَاصُ فِيهِ.
وَقَالَ
آخَرُونَ: يَعْنِي بِالْعَدْلِ فِي الْأَفْعَالِ وَالْإِحْسَانِ فِي الْأَقْوَالِ،
فَلَا تَفْعَلْ إِلَّا مَا هُوَ عَدْلٌ وَلَا تَقُلْ إِلَّا مَا هُوَ إِحْسَانٌ
Dalam
menafsirkan lafadh al-'adlu dan al-ihsan beliau menukil tiga
pendapat sekaligus dari Ibnu Abbas, salah satunya yakni al-'adlu itu
terbebas dari menyekutukan dan al-ihsan adalah menyembah kepada Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya dan rasa cinta kepada manusia seperti rasa cinta
terhadap diri sendiri. Jika seorang mu'min memiliki sifat ihsan, maka akan
ditambahkan keimanannya. Dan jika orang kafir mempunyai sifat ihsan, maka kamu
suka untuk menjadikan saudaramu masuk islam.
Selain itu
beliau juga mengutip pendapat ulama lain, bahwa Allah memerintahkan adil dalam
berbuat dan ihsan dalam perkataan. Maka dilarang berbuat sesuatu kecuali dengan
adil, dan dilarang berkata kecuali dengan ucapan yang ihsan (baik). Meskipun
dalam tafsiran ini beliau memakai dalil naqli tetapi di akhir pembahasan
akan dikemukakan dalil aqlinya.
3.
Contoh
penafsiran dalan ranah qiroat.
Untuk contoh qiroat kami belum menemukan seperti yang
tertera secara rinci dalam kitab tafsir Muharrar al-Wjiz karya Ibun 'Athiyah,
tetapi disini kami akan mengutip kesimpulan Salimuddin dalam thesisnya, bahwa fungsi
qira’at dalam tafsir Mafatih al-Ghaib yakni: sebagai sumber penafsiran
al-Qur’an, alternatif pencarian makna, dan sebagai pembelaan terhadap mazhab. Fungsi terakhir yang terlihat lebih banyak dalam kitab tafsir
kajian. Dengan kesimpulan ini berimplikasi pada adanya dua model tali rantai
antara al-Qur’an dengan mazhab yakni, perbedaan pemahaman al-Qur’an
berimplikasi kepada perbedaan mazhab atau aliran. Atau bisa juga perbedaan
mazhab akan berimplikasi pada perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an.[22]
4.
Contoh
persoalan fiqih tentang niat dalam wudhu dalam penafsiran QS. Al-Maidah: 6
الْمَسْأَلَةُ الْخَامِسَةُ: قَالَ
الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّه: النِّيَّةُ شَرْطٌ لِصِحَّةِ الْوُضُوءِ
وَالْغُسْلِ. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّه:لَيْسَ كَذَلِكَ.
وَاعْلَمْ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
يَسْتَدِلُّ لِذَلِكَ بِظَاهِرِ هَذِهِ الْآيَةِ أَمَّا الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ
اللَّه فَإِنَّهُ قَالَ: الْوُضُوءُ مَأْمُورٌ بِهِ، وَكُلُّ مَأْمُورٍ بِهِ
فَإِنَّهُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مَنَوِيًّا فَالْوُضُوءُ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ
مَنَوِيًّا، وَإِذَا ثَبَتَ هَذَا وَجَبَ أَنْ يَكُونَ شَرْطًا لِأَنَّهُ لَا
قَائِلَ بِالْفَرْقِ، وَإِنَّمَا قُلْنَا: إِنَّ الْوُضُوءَ مَأْمُورٌ بِهِ
لِقَوْلِهِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُؤُسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ [المائدة: 6] وَلَا شَكَّ أَنَّ
قَوْلَهُ فَاغْسِلُوا وَامْسَحُوا أَمْرٌ، وإنما قلنا: إن كل مأمور به أَنْ
يَكُونَ مَنَوِيًّا لِقَوْلِهِ تَعَالَى:وَما أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ [الْبَيِّنَةِ: 5] ……
وَأَمَّا أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّه
فَإِنَّهُ احْتَجَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى أَنَّ النِّيَّةَ لَيْسَتْ شَرْطًا
لِصِحَّةِ الْوُضُوءِ، فَقَالَ: إِنَّهُ تَعَالَى أَوْجَبَ غَسْلَ الْأَعْضَاءِ
الْأَرْبَعَةِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ وَلَمْ يُوجِبِ النِّيَّةَ فِيهَا، فَإِيجَابُ
النِّيَّةِ زِيَادَةٌ عَلَى النَّصِّ، وَالزِّيَادَةُ عَلَى النَّصِّ نَسْخٌ،
وَنَسْخُ الْقُرْآنِ بِخَبَرِ الْوَاحِدِ وَبِالْقِيَاسِ لَا يَجُوزُ.
وَجَوَابُنَا: أَنَّا بَيَّنَّا أَنَّهُ
إِنَّمَا أَوْجَبْنَا النِّيَّةَ فِي الْوُضُوءِ بِدَلَالَةِ الْقُرْآنِ.
Kurang lebih yang dimaksudkan dalam teks di atas adalah, perbedaan
pendapat tentang niat wudhu antara Imam Syafi'i dengan Imam Abu Hanifah. Yang
pertama berpendapat bahwa niat adalah syarat sahnya wudhu sedangkan pendapat
Imam Abu Hanifah tidak demikian. Kemudian Fakhruddin al-Razi juga menuliskan
alasan dari keduanya. Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan di atas,
meskipun beliau menerangkan tafsiran ayat Fiqih dari imam madzhab lain tetapi
beliau tetap konsisten dengan madzhab Syafi'i. seperti jawaban beliau di atas,
"Sesungguhnya saya menjelaskan bahwa saya menemukan niat dalam wudhu
itu berdasarkan dalil al-Quran."
5.
Contoh
penafsiran tentang ayat-ayat ketuhanan (teologi), QS. Al-An'am: 103
لَا
تُدْرِكُهُ الْأَبْصارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
"Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan
itu. Dialah Yang Mahahalus dan Mahateliti."
الْوَجْهُ
الرَّابِعُ: فِي التَّمَسُّكِ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَا نُقِلَ أَنَّ ضِرَارَ بْنَ
عَمْرٍو الْكُوفِيَّ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّه تَعَالَى لَا يَرَى بِالْعَيْنِ،
وَإِنَّمَا يَرَى بِحَاسَّةٍ سَادِسَةٍ يَخْلُقُهَا اللَّه تَعَالَى يَوْمَ
الْقِيَامَةِ، وَاحْتُجَّ عَلَيْهِ بِهَذِهِ الْآيَةِ فَقَالَ: دَلَّتْ هَذِهِ
الْآيَةُ عَلَى تَخْصِيصِ نَفِي إِدْرَاكِ اللَّه تَعَالَى بِالْبَصَرِ،
وَتَخْصِيصُ الْحُكْمِ بِالشَّيْءِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْحَالَ فِي غَيْرِهِ
بِخِلَافِهِ، فَوَجَبَ أَنْ يَكُونَ إِدْرَاكُ اللَّه بِغَيْرِ الْبَصَرِ جَائِزًا
فِي الْجُمْلَةِ، وَلَمَّا ثَبَتَ أَنَّ سَائِرَ الْحَوَاسِّ الْمَوْجُودَةِ
الْآنَ لَا تَصْلُحُ لِذَلِكَ ثَبَتَ أَنْ يُقَالَ: إِنَّهُ تَعَالَى يَخْلُقُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَاسَّةً سَادِسَةً بِهَا تَحْصُلُ رُؤْيَةُ اللَّه تَعَالَى
وَإِدْرَاكُهُ، فَهَذِهِ وُجُوهٌ أَرْبَعَةٌ مُسْتَنْبَطَةٌ مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ
يمكن العويل عَلَيْهَا فِي إِثْبَاتِ أَنَّ الْمُؤْمِنِينَ يَرَوْنَ اللَّه فِي
الْقِيَامَةِ.
Maqro' diatas merupakan dalil pendukung ajaran akidah
Asy'ariyah atas adanya nikmat ru'yatullah di akhirat nanti. Menukil
perkataan Dharar bin 'Amr al-Kufi, bahwa sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat
dengan mata kepala, tetapi dapat dilihat dengan pancaindera yang keenam yang
akan Allah ciptakan di hari kiamat nanti. Kemudian Beliau berargumen bahwa ayat
ini menunjukkan penafian yang khusus yaitu penafian melihat (idrok)
Allah melalui pancaindera mata (bashar), maka melihat Allah tanpa
menggunakan pancaindera mata itu bisa dibenarkan. Dengan alasan, pengkhususan
hukum dengan sesuatu, menunjukkan bahwa keadaan selain itu akan membawa ke
hukum yang sebaliknya.
PENUTUP
Berdasarkan
uraian diatas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Beliau
bernama lengkap Muḥammad bin ‘Umar bin Ḥusain bin Ḥasan bin ‘Ali Attamimi
Al-Bakri al-Razi, beliau terkenal
dengan sebutan Fakhruddin al-Razi. beliau dilahirkan di Ray tahun 544 H/1149 M,
dan wafat di Herat tahun 606 H/1209 M. Tafsir Al-Kabir ini dikategorikan
sebagai kitab tafsir bi-Ra’yi, dengan metode tahlili sekaligus maudhui, dan
bercorak ilmi, fiqih dan akidah.
Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, memiliki banyak keistimewaan,
orang yang telah meneliti tafsir ini pasti akan mendapatkan beberapa poin
penting. Namun ada beberapa ulama yang mengkritik metode yang dipakai oleh Fakhruddin
al-Razi karena menurut mereka, metode yang dipakai oleh Fakhruddin al-Razi itu
diluar kebiasaan para ahli tafsir kebanyakan, tapi Fakhruddin al-Razi memiliki
alasan tersendiri, menurut beliau, Al-Quran memiliki banyak wawasan ilmu
pengetahuan, jika seorang mufassir hanya fokus pada satu corak tafsir saja
misalnya hanya fokus pada ayat-ayat hukum saja, maka seakan-akan Al-Quran hanya
sebagai sumber hukum padahal Al-Quran memiliki banyak cabang ilmu
pengatahuan.
al-Dzahabi, Husein, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo:
Maktabah Wahbah, tt.)
Cahyadi, Djaya, Takdir dalam Pandangan Fakhruddin al-Razi, Skripsi Mahasiswa Usuluddin, Jurusan Tafsir Hadist, UIN Syarif
Hidayatullah, 2011
Hakim, A. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok:
eLSiQ, 2013)
Imam Santoso, Al Imron,
Tauhid Menurut Fakhr al-Din al-Razi Dalam Mafatihu al-Ghaib, Skripsi
Mahasiswa Usuluddin, Jurusan Tafsir Hadist, UIN Syarif Hidayatullah, 2017
Ismail,
Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (yogyakarta:
LKis Pelangi Aksara, 2003)
Iyazi,
Ali, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum, (Teheran:
Muassasah al-Thaba'ah wa al-Nasyr Wuzarat al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy,
tt)
Salimuddin, Qiroat dalam Kitab Tafsir:
Kajian Atas Ayat-Ayat Teologis dalam al-Kasyaf dan Mafatih al-Ghaib, Thesis
Mahasiswa Prodi Agama dan Filsafat, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2016
[1] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981) juz 1, h. 3; Husein al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun,
(Kairo: Maktabah Wahbah, tt.) jilid 1, h. 206
[3]
Djaya Cahyadi, Takdir dalam Pandangan Fakhruddin al-Razi, Skripsi Mahasiswa Usuluddin, Jurusan Tafsir Hadist, UIN Syarif
Hidayatullah, 2011, h. 16
[4] ibid
h. 650
[5] Abu
Bakar al-Razi, dunia Barat mengenalnya dengan sebutan Rhazes, merupakan pakar
sains kelahiran Ray, Teheran Iran yang hidup pada tahun 251 H-313 H (865 M-925
M), lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Zakariya_ar-Razi diakses pada tanggal
5 Desember 2017
[6] Al
Imron Imam Santoso, Tauhid Menurut Fakhr al-Din al-Razi Dalam Mafatihu
al-Ghaib, Skripsi Mahasiswa Usuluddin, Jurusan Tafsir Hadist, UIN Syarif
Hidayatullah, 2017, h. 15
[7] Husein
al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, tt.) jilid
1, h. 207
[12] Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam
Penafsiran, (: LKis Pelangi Aksara, 2003), h. 111
[16]
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran,
h. 106
[22] Salimuddin, Qiroat dalam Kitab Tafsir: Kajian Atas Ayat-Ayat Teologis
dalam al-Kasyaf dan Mafatih al-Ghaib, Thesis Mahasiswa Prodi Agama dan Filsafat,
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016, hlm. 227
Tidak ada komentar:
Posting Komentar